Momentum hari kemerdekaan Indonesia yang ke 74 kali ini membuat saya kembali berfikir perihal bangsa ini yang mulanya merupakan entitas yang dibentuk dan disatukan oleh pikiran-pikiran brilian yang dimiliki founding fathers.Â
Sejarah telah mencatat ide-ide yang mulia dari bapak pendiri bangsa semisal Soekarno dengan marhaenisme, Mohammad Hatta dengan ide koperasi dan ekonomi kerakyatan, KH. Agus Salim dengan ide sosialisme islam, Tan Malaka dengan ide berupa keadilan sosial dan ekonomi, dan tokoh-tokoh lainnya yang memiliki semangat kebangsaan untuk mengantarkan Indonesia menuju cita-cita kemerdekaannya.Â
Berbagai macam ide kebangsaan tersebut pada awal-awal masa kemerdekaan mulanya saling berdialektika antara satu sama lain sehingga terciptalah konsolidasi idelogi kebangsaan pada saat itu.
Mari coba kita melihat perkembangan bangsa dari sisi karakteristik pada masing-masing era pasca kemerdekaan yang barang tentu berbeda.Â
Orde lama menjadikan agenda ideologi dan politik dalam mengelola negara sebagai prioritas. Orde baru memiliki agenda pembangunan ekonomi.Â
Era reformasi menginginkan agenda demokrasi sebagai sarana untuk mengakomodir cita-cita kebangsaan. Perkembangan berdasarkan ketiga era tersebut mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa kodisi zaman akan selalu menuntut pada sebuah model kenegaraan tertentu yang sesuai dengan konteks zaman tersebut.Â
Maka timbul pertanyaan, apakah di era reformasi ini bangsa kita masih berada pada trek yang semestinya untuk dapat mencapai cita-cita kebangsaan yang dibuat oleh para founding fathers? Hmm, di momen hari kemerdekaan ini tentunya menarik untuk kita bicarakan kembali dengan ditemani secangkir kopi tentunya.
Bicara soal makna kemerdekaan tidak lepas dari katalisator yang dibutuhkan sebagai mesin kapal dalam mengantarkan bangsa menuju cita-citanya.
Salah satu katalisator yang paling utama ialah pendidikan bangsa. Sebab pendidikan, sebagaimana yang diutarakan oleh KI Hadjar Dewantara, bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai manusia dan membedakan antara manusia dengan binatang.Â
Artinya, elemen dasar manusia yang berupa akal budi dan jiwa hanya bisa ditumbuhkan dan dirawat melalui proses pendidikan yang semestinya.