Mohon tunggu...
Mahdiya Az Zahra
Mahdiya Az Zahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - lifetime learner

Mompreneur yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menjadi Ibu Rumah Tangga dengan Kesadaran

26 September 2021   18:05 Diperbarui: 26 September 2021   18:12 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu saya tak menyukai pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT), saya tak ingin menjadi IRT dan tak ingin disebut IRT. Saya selalu berpikir bahwa IRT itu gak keren, gak bekerja, dan gak berpenghasilan. Selain itu menjadi IRT berarti tidak produktif dan tidak bisa berkarya. 

Setelah menikah, saya bekerja dengan mendirikan bimbel di rumah. Sebelum menikah pun saya sudah mendirikan bimbel, hanya saja lokasinya di rumah saya. Oh ya, bekerja dan mendirikan bimbel ini bukan karena tak ada pilihan. Tapi saya memang ingin mendirikan usaha sendiri.

Sesampainya di kota suami, saya mendapat tawaran pekerjaan dari kenalan-kenalan saya. Ada pekerjaan yang saya ambil karena tidak terlalu padat, namun akhirnya saya batalkan karena hamil dan sakit parah. Setelah melahirkan, saya memutuskan untuk mengasuh anak saya sendiri.

Saat itu lah saya mulai merasakan krisis identitas. Seringkali orang bertanya apa pekerjaan saya dan saya tak ingin mengakui bahwa saya IRT. Pernah saya dikira tidak kuliah dan beruntung mendapatkan suami seorang dosen. Bukan masalah kuliah atau tidaknya, tapi IRT memang seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap tidak berpendidikan.

Kondisi ini berlangsung lama, kondisi ketika jiwa saya terus berteriak untuk mengaktualisasikan diri, namun juga dilema karena ingin mengasuh dan mendidik anak sendiri. Saya sering iri dengan teman yang bekerja di luar, saya kadang juga insecure dengan teman-teman. 

Namun saya telaah lagi perasaan ini. Saya mulai mempertanyakan lagi keputusan saya. Bukankah saya sendiri yang memilih jalan ini? Jika memang ini yang saya pilih lantas kenapa saya selalu merendahkan diri saya. Kenapa saya justru selalu memandang rendah IRT?

Maka langkah paling awal yang saya lakukan adalah memantapkan diri atas pilihan ini. Kedua, mengubah mindset tentang IRT. Saya memilih kerja di rumah bukan karena tidak berpendidikan dan sibuk bergosip ria. Saya dengan sadar memilih pekerjaan itu karena ingin mengasuh serta mendidik anak saya sendiri. Menyaksikan momen terbaik serta memberikan perhatian dan kasih sayang selagi saya masih diberi kehidupan. 

Saya sendiri adalah tipe orang yang gak pernah mau jauh dengan anak. Kondisi ini sangat berat bagi saya karena saya kehilangan ibu saat berusia 6 tahun. Rasa kehilangan ini membuat saya tak ingin meninggalkan anak saya barang sebentar. 

Setelah dipikir-pikir, pekerjaan paling cocok untuk saya memang IRT. Saya bisa menghabiskan banyak waktu bersama anak. Saya juga tak perlu memikirkan banyak hal terkait pekerjaan yang mungkin bisa membuat saya tertekan. 

Saya bisa belajar dan mengikuti berbagai kelas online sambil mengasuh anak. Saya bisa belajar parenting dengan ikut kelas, saya juga bisa membaca buku dengan leluasa. Pekerjaan IRT yang sering disepelekan membuat saya tertantang. Bahwa seorang IRT juga bisa berdaya dan mengaktualisasikan dirinya. 

Saya mulai mengaktualisasikan diri dengan menulis dan mengirimkannya ke media online. Saya sering menulis tentang kehamilan, melahirkan, parenting, relasi laki-laki dan perempuan, dan berbagai pengalaman hidup lainnya. Mungkin sepele, tapi ternyata beberapa orang mengapresiasi, mungkin tulisan saya mewakili perasaan mereka.

Hal ini membuat saya semakin bersemangat untuk menulis dan berbagi. Tentu saja, selain mengaktualisasikan diri, saya juga mendapatkan penghasilan serta sarana terapi diri.

Saya juga membuka kelas tahsin gratis untuk umum. Saya ingin tetap bisa mengaji meski sudah menikah dan memiliki anak. Dan melalui kelas ini saya bisa belajar sekaligus berbagi. Menjadi ibu rumah tangga sebenarnya menyenangkan. Kita bebas menentukan kegiatan dan jadwal kita.

Selain itu saya juga bergabung dalam ibu profesional, sebuah komunitas untuk ibu-ibu yang ingin belajar, berkomunitas, berbagi, dan berdampak. Dalam komunitas ini ada banyak kelas agar kita bisa menggali potensi kita. Kita juga mendapat teman dan jaringan yang lebih luas.

Cita-cita saya saat ini adalah menjadi ibu rumah tangga, bukan sekedar ibu yang bekerja di rumah. Melainkan menjadi ibu profesional, ibu yang memegang peranan penting dalam keluarga dan pendidikan anak. Saya menyadari bahwa kegiatan yang saya lakukan bisa berdampak dari Rumah untuk Dunia. Saya mencoba menggali potensi diri saya, mencari berbagai alternatif, dan belajar apa pun agar saya tetap bahagia.

Saya mencoba berbagai hal, masuk dalam berbagai komunitas orang tua maupun perempuan, bersosialisasi, dan berbagi.  Seorang ibu bukan sekedar sebagai penyedia makanan dan tukang beresin rumah. Seorang ibu adalah pemberi cinta kasih dan perhatian untuk keluarga. Berkomunitas dan berbagi di Konferensi Ibu Pembaharu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun