Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Safar merupakan bagian hidup setiap muslim dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Rabb-nya atau untuk meraih kemaslahatan duniawinya. Allah swt. menetapkan hukum-hukum safar serta mengajarkan adab-adabnya di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw. Secara syariat, safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. Namun, mengenai jarak perjalanan yang dianggap safar, para ulama masih berbeda pendapat. Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan bahwasanya batasan suatu perjalanan disebut dengan safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing.
Begitu juga dengan safar bagi wanita. Definisi mahram pada umumnya bagi wanita adalah orang yang haram menikah dengannya karena hubungan nasab, pernikahan, atau saudara susuan. Adapun penjelasan dari ketiganya adalah : pertama, mahram karena hubungan nasab, seperti anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, bapaknya, paman dari bapaknya, paman dari ibunya, kakeknya, anak saudara laki-lakinya, anak saudara perempuannya, saudara seayah atau seibu. Kedua, mahram karena pernikahan, seperti suami putrinya, suami cucu dari putrinya, putra suaminya, anak-anak dari putra suaminya, anak-anak dari putri suaminya, ayah atau kakek suami, baik dari pihak ayah suami atau ibu suami. Ketiga, mahram karena susuan sama seperti mahram karena nasab berdasarkan sabda Rasulullah SAW., "Penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan karena nasab". (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Sesungguhnya pembicaraan mengenai wanita dan hal-hal yang berkaitan dengannya sangatlah penting, khususnya pada zaman sekarang ini, di mana wanita muslimah menghadapi fitnah yang dapat menyebabkan hilangnya kemuliaan dan kedudukannya yang terhormat dalam sisi Islam. Agama Islam menjaga kehormatan dan akhlak kaum muslimin serta menjaga masyarakat agat tidak jatuh kedalam kehinaan. Di antara cara mewujudkan hal tersebut adalah larangan bagi wanita untuk bersafar tanpa mahram yang menyertainya. Sebagian ulama' menukil kesepakatan tentang terlarangnya wanita safar tanpa suami atau mahram yang menyertainya.
Terkait dengan safar bagi wanita muslimah karena dalil-dalil yang berhubungan dengan safar bagi wanita masih bersifat sangat umum, maka berpotensi menimbulkan berbagai penafsiran bahkan sering kali memicu perdebatan. Pada dasarnya, hukum wanita melakukan perjalanan ramai-ramai seperti perjalanan menjalankan ibadah haji, bepergian untuk mencari nafkah ke negara lain atau menjadi seorang TKI, menghadiri seminar atau menyelesaikan studi di luar kota, piknik, study tour, camping, dan bepergian lainnya tanpa disertai mahram adalah boleh atau mubah. Syariat Islam hanya melarang umatnya melakukan pergaulan bebas atau perzinaan.
Jika kita menilik Rasulullah saw. saat melakukan safar menyeberangi laut untuk peperangan, beliau selalu didampingi oleh sahabat. Sahabat yang dimaksud di sini tidak hanya laki-laki. Tetapi, juga dari kalangan wanita yang berani dan merelakan nyawanya untuk melindungi Rasulullah saw. Saat itu, tugas wanita adalah membantu logistik dan medis saat berperang. Kita tidak akan membicarakan tugas wanita saat perang. Akan tetapi, fokus pada perjalanan wanita, artinya wanita boleh melakukan safar tanpa pendampingan mahram yang secara umum yang disebut dengan mahram disini adalah yang sudah disebutkan dalam definisi mahram di atas.
Kebanyakan ulama kerap merujuk ketentuan wanita muslimah bepergian tanpa mahram ini pada hadits yang berbunyi :
عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: لاَ تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Artinya : "Dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda, "Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya". (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Ad-Daruquthni, serta Imam Muhaddits yang lainnya. Dalam beberapa riwayat lain dari Abu Said Al-Khudri atau Abdullah bin Abbas, tercatat juga larangan bepergian tanpa mahram ini dikisahkan dalam konteks pergi haji. Selain dalam urusan tujuan safar, Nabi SAW. juga disebutkan berbeda-beda dalam menyatakan batasannya, kadang menyebutkan sehari, kadang menyebutkan sehari-semalam, kadang dua hari, dan kadang juga tiga hari. Kalimat-kalimat dalam ragam riwayat hadits di atas tampak tegas menyatakan larangan bepergian untuk wanita sehingga sebagian ulama menyebutkan bahwa bepergian untuk tujuan apapun, termasuk tujuan wajib seperti haji, harus disertai mahram.
Hadis inilah yang oleh banyak kalangan dijadikan dasar pelarangan muslimah untuk bepergian lebih dari tiga hari tanpa mahram. Namun, bagi beberapa kalangan muslim lainnya, salah satunya adalah Yusuf al-Qardhawi, ia menuturkan hadis tersebut tidak dapat dipahami secara lafzhi atau tekstual, melainkan harus dengan mempertimbangkan illat atau alasan pelarangannya. Satu alasan pelarangannya dalam hadis tersebut adalah tidak adanya jaminan keamanan dan dikhawatirkan terjadinya fitnah pada saat perjalanan itu dilakukan. Jika ditinjau dari asbabul wurud hadis tersebut, saat itu seseorang yang ingin bepergian jauh maka dia harus melewati gurun pasir dan kebun kurma yang begitu luas sehingga banyak kemungkinan hal-hal buruk dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi bila tidak ditemani oleh mahram. Maka dari itu dapat dipahami, larangan bepergian bagi wanita tidaklah bersifat mutlak tanpa illat (alasan).
Dalam satu riwayat dalam Shahih Muslim, disebutkan sahabat Umar bin Khatthab RA memperkenankan istri Nabi Muhammad SAW. untuk melakukan perjalanan haji dan umrah, yang ternyata tanpa didampingi mahram mereka, melainkan didampingi sahabat Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Tentu saja perjalanan haji dan umrah istri-istri Nabi ini dari Madinah ke Makkah, yang jaraknya tak kurang dari 400 km.
أن عمر رضي الله عنه أذِن لأزواج النبي صلى الله عليه وسلم في آخر حجة حجَّها، فبعث معهنَّ عثمان وعبدالرحمن بن عوف
Artinya : "Umar mengizinkan para istri Nabi SAW. pergi haji pada haji yang terakhir dan mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf." (HR Muslim).
Satu hal yang penting untuk diketahui suatu hukum sangat bergantung kepada illat-nya. Apabila illat itu tidak ada maka hukumnya juga terhapus atau tidak berlaku, sebagaimana wanita muslimah bepergian bersama-sama dengan temannya yang lain dapat menghilangkan illat larangan tersebut, maka ketika itu agama tidak melarangnya atau membolehkan. Apalagi dalam konteks keindonesiaan saat ini, di mana transportasi dengan sangat mudah dan terjamin keamanannya sehingga muslimah boleh bepergian selama syarat keamanan dan menjaga agama juga kehormatannya terpenuhi.
Wanita juga mendapat jaminan hukum karena Indonesia menerapkan Hukum Extrateritorial. Artinya, kemanapun warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri, ketika mendapat perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi dari orang dalam maupun luar negeri maka akan mendapatkan bantuan hukum dari Indonesia. Sebagai contoh, perempuan yang menempuh jalur karir sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Jika para perempuan itu mendapat perlakuan yang tidak adil, mengalami kekerasan fisik dari majikan, atau mengalami pelecehan seksual dan tindakan asusila lainnya, tentu akan mendapatkan bantuan hukum.
Bahkan ketika masih berada di luar negeri, sepanjang sejak keberangkatan sesuai prosedur kebangsaan dan kenegaraan, pemerintah Indonesia akan menindak tegas kepada siapa saja yang berbuat asusila kepada warga negara Indonesia dan siapa saja yang merugikan negara juga warganya, bahkan saat berada di mana pun dia. Dengan demikian, keamanan sangat terjamin. Justru seharusnya yang perlu kita tekankan ialah dengan memberikan edukasi kepada wanita tentang bagaimana cara pelaporan yang benar dan melalui kanal apa ketika hendak melaporkan terkait kejadian yang tidak diinginkan agar jaminan keamanan makin berpihak kepada wanita. Dengan demikian, wanita muslimah melakukan perjalanan, baik dalam rangka menunaikan ibadah haji, menjadi TKI, menghadiri seminar, menyelesaikan studi, dan perjalanan-perjalanan lain hukumnya mubah, meski tidak dalam pendampingan mahram selama syarat keamanan dan menjaga agama juga kehormatannya terpenuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H