Artificial Intelligence (AI) dalam peradaban manusia telah menandakan perkembangan media dan teknologi yang begitu pesat. Kecepatan dalam menggabungkan sejumlah data besar dapat menghasilkan beberapa produk seperti tulisan, audio-visual, maupun foto realistis sesuai dengan perintah yang dibuat.Â
KehadiranVisual gambar hasil kecerdasan buatan ini menghadirkan tantangan baru bagi dunia karya visual jurnalistik. Pada perkembangannya teknologi AI menciptakan visual gambar yang semakin sempurna sehingga memunculkan perdebatan baru: Dapatkah teknologi artificial intelligence dapat menggeser peran fotografi jurnalistik?
Umumnya banyak sekali keunggulan yang dimiliki oleh AI dengan kecepatannya dalam mengolah data. Teknologi kecerdasan buatan telah digunakan dalam jurnalisme untuk membantu tugas-tugas seperti pembuatan konten, mengumpulkan dan menganalisis data, serta berinteraksi kepada audiens yang dapat diotomatisasi dan mempercepat kerja jurnalistik. Bahkan AI telah digunakan oleh Michael Christopher Brown, seorang jurnalis foto dokumenter dalam proyek foto cerita jurnalistik miliknya bertajuk 90 Miles.
Proyek yang ia buat pada tanggal 4 April 2023 ini terhenti karena dianggap melanggar etika bagi sebagian besar jurnalisme warga. 90 Miles menceritakan peristiwa sejarah dan realitas kehidupan orang Kuba untuk menyebrangi 90 mil lautan yang memisahkan Havana dari Florida.Â
Hasil gambar yang begitu realistis di proyek ini sangat membantu kita untuk mengetahui peristiwa sejarah yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Dengan berbagai penolakan, justru di sisi lain hal ini merupakan bentuk positif penggunaan AI.Â
Lalu apakah ini hanya bentuk penolakan masyarakan terhadap teknologi baru, ataukah hanya sebagai wujud kekhawatiran mendalam akan batas antara etika dan kreatifitas?
Bersamaan dengan banyaknya keunggulan dan kemudahan menggunakan AI, teknologi ini tetap tidak bisa menggantikan peran fotografi jurnalistik. Kredibilitas foto jurnnalistik itu adalah kejujuran dan kenyataan yang ada di lapangan.Â
Terdapat beberapa faktor yang mejadikan AI bukanlah ancaman bagi profesi fotografi jurnalistik. Di antaranya karena seluruh produk jurnalistik menjunjung tinggi kode etik, kredibilitas, kejujuran, serta fakta yang ada di lapangan. Perdebatan baru mengenai fakta dan penyebaran disinformasi akan terjadi apabila kerja fotografi jurnalistik digantikan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan.
Bayangkan saja jika benar kecerdasan buatan ini menggantikan seluruhnya kerja fotografi jurnalistik. Tentu akan sangat menguntungkan bagi instansi perusahaan, hanya dengan mengetik prompt pada aplikasi AI yang telah ada, budget dapat terselamatkan. Terlihat sangat efektif dan menggiurkan bukan? Tetapi apakah visual yang dihasilkan oleh AI dapat benar dan persis sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan?
Untuk lebih mudah mari kita berandai jikalau hari ini terjadi sebuah kasus lakalantas antara truk bermuatan sayur yang tertabrak oleh kereta api. Tidak ada korban jiwa namun mengakibatkan 80 persen badan truk hancur dengan sayuran yang terserak hingga 100 meter dari tempat kejadian perkara.Â
Hal ini dapat kita tulis sebagai prompt, namun apakah kecerdasan buatan dapat menghasilkan visual yang serupa dengan apa yang sedang terjadi? Tentu tidak. Hasilnya dapat sesuai dengan prompt yang ditulis, namun tidak sama dengan apa yang terjadi.
Visual karya fotografi jurnalistik adalah seni. Tidak semua orang mempunyai kredibilitas dalam menangkap sebuah peristiwa dan menyampaikan maknanya kepada khalayak.Â
Hasil teknologi kecerdasan buatan sejatinya merupakan rekayasa dari gabungan data besar yang tersedia. Artificial Intelligent dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan lain, tetapi tidak untuk fotografi jurnalistik.Â
Perlu diingat sesungguhnya yang dapat memotret peristiwa hanyalah fotografer. Segala sesuatu yang ada di dalam hasil karya fotografi jurnalistik adalah tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Seperti yang sudah kita ketahui dan pelajari, jurnalistik adalah kegiatan mengenai kepercayaan dan independensi, meskipun sebenarnya hal ini juga menjadi teka-teki misterius bagi sebagian besar media.Â
Terkait dengan kata kunci kepercayaan, jadilah kegiatan jurnalistik harus tetap sesuai dengan kaidah-kaidah serta etika yang sudah dibuat. Mengenai karya visual fotografi jurnalistik, tentu proses pembuatannya tanpa ada yang dikurang maupun ditambah, apalagi diada-ada, sebagaimana telah kita diskusikan sejak paragraf ke-empat.
Hadirnya teknologi AI adalah sebagai alat bantu untuk mengoptimalkan hasil karya ilustrasi, sama seperti yang telah dilakukan oleh Michael C. Brown. Dalam wawancara bersama Rasdian A. Vadin selaku dosen mata kuliah Fotografi Jurnalistik, beliau memberi pendapat serupa. "Karna sebetulnya apabila digunakan dengan tepat, teknologi ini bisa memperkuat fotografi jurnalistik khususnya pada konteks ilustrasi," paparnya, Kamis (19/10/2023).
Teknologi luar biasa yang kita alami ini tentu merupakan tanda betapa luasnya ilmu dapat berkembang. Kemajuan zaman serta kemajuan berpikir umat manusia tidak dapat lagi dibendung.Â
Perihal dampak negatif juga positif yang timbul semata-mata tanggung jawab serta kebijakan tiap individu. Menurut Vadin, meskipun kredibilitas hasil karya AI belum dapat dibuktikan, dunia kerja jurnalistik tetap membutuhkan adanya dukungan untuk mengendalikan penggunaannya. "AI harus dipakai sesuai konteks dan hasilnya diberi keterangan bahwa hasil tersebut merupakan hasil dari AI" tuturnya.
Walaupun kredibilitas hasil kecerdasan buatan yang sampai saat ini masih dipertanyakan, dunia kerja jurnalistik tetap memerlukan adanya dukungan untuk mengendalikan penggunaannya. AI akan terus berkembang dan kian sempurna di masa depan.Â
Seiring kemajuan teknologi kecerdasan buatan, diharapkan bagi para jurnalis untuk tetap berkolaborasi dengan teknologi yang berkembang. Menjadikan teknologi sebagai alat untuk memaksimalkan kerja jurnalistik agar menghasilkan produk dengan kualitas yang juga meningkat. Diharapkan masyarakat bisa lebih bijak dalam menghadapi penyebaran hoaks dan disinformasi, apalagi mengingat betapa mudahnya pembuatan konten palsu.
Sumber:
Terranova, A. (2023). How AI Imagery is Shaking Photojournalism.Â
Penulis:
Az'zahra Putri Nabilla, mahasiswi semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H