Mohon tunggu...
zaza azza
zaza azza Mohon Tunggu... Tutor - S1 Farmasi, ingin berbagi manfaat

hanya seorang amatiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akankah Paradigma "Nilai" di Indonesia Berubah?

19 April 2018   17:04 Diperbarui: 19 April 2018   17:12 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Saat ini, siswa-siswi Sekolah Menengah atau yang sederajat sedang melalui Ujian Nasional Bertaraf Komputer (UNBK). Menyoal ujian, tentu masalah nilai adalah hal yang paling sering diperbincangkan. 

Bukan hanya ketika UNBK saja sebenarnya, setiap kali siswa-siswi atau melakukan ujian maka pasti nilai tinggi adalah hal yang didambakan. Apalagi jika nilai menjadi syarat kelulusan. Inilah yang kemudian pada tahun 2011 silam membuat nilai UN bukan satu-satunya patokan kelulusan melainkan juga memasukkan nilai Ujian akhir sekolah (UAS) sebagai salah satu indikator.

Berkaitan dengan hal itu, tentu contek-menyontek dan bentuk kecurangan lain menjadi tak asing lagi di telinga. Bahkan dengan banyaknya motivasi dan kalimat penyemangat dari guru, mentor, dan semisalnya terhadap nilai, tidak juga membuat "budaya" ini menghilang. Bahkan seolah-olah hal ini adalah sesuatu yang lumrah dan sah-sah saja. 

Yang paling ironis adalah jika ternyata ada dari oknum guru sendiri yang mengulang sejarah, dalam arti ia tak lagi mempersoalkan masalah krisis kejujuran ini karena dahulu ia pun melakukan kecurangan yang serupa. 

Mengenai ini tentu muncul tanya kekhawatiran, "akankah paradigma terhadap nilai ini berubah?". Atau, jika bukan nilai, apa yang sebenarnya menjadi masalah?

Ternyata mengkaji dan menilik masalah "nilai" ini akan membawa kita kepada permasalahpan kompleks mengenai moral dan mental anak bangsa yang butuh untuk dibenahi. 

Jadi, masalah "nilai" ini bukan hanya tentang apakah "nilai harus dihapuskan atau tidak", karena sudah jelas bahwa bagaimanapun "nilai" adalah hal yang dibutuhkan untuk mengukur kompetensi seseorang. Sayangnya, "nilai" berupa angka numerik ini ternyata menarik pula masalah "nilai" dalam makna moral dan etika yang pada akhirnya membutuhkan solusi yang lebih komprehensif dan representatif.

Masalah nilai seperti mata rantai sirkular

Jika ditanya mengapa para siswa atau pelajar menyontek atau berbuat curang maka tentu mereka akan berdalih ingin nilai yang memadai untuk lulus. Tentu saja menyontek bukanlah cara yang benar untuk meraih nilai yang diharapkan, tetapi mengapa sebagian besar pelajar lebih memilih untuk menyontek?

Apakah karena standar nilai yang tinggi? Pertanyaan rumit yang sulit dihadapi sebagai soal ujian? Atau karena enggan atau malas belajar? Pertanyaan pertama dan kedua sebenarnya berkaitan dengan pertanyaan ketiga. 

Standar soal dan nilai yang tinggi pada dasarnya diharapkan agar para pelajar lebih semangat dan kompetitif dalam belajar. Namun nampaknya sebagian besar pelajar memandang belajar hanya untuk mendapatkan nilai, dan nilai tersebut sebagai ajang pamer atau berbangga-bangga sehingga tak berpengaruh terhadap minat belajarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun