Mohon tunggu...
Azwir
Azwir Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Enthusiast

Hobi Traveling, Pecinta Kuliner, Olahraga, Budaya

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dampak Ekonomi Akibat Tuberkulosis

24 Juli 2024   23:54 Diperbarui: 25 Juli 2024   00:01 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan dengan tingkat kesakitan dan kematian yang tinggi, terutama di negara-negara berkembang. Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Hingga 1,5 juta orang meninggal akibat tuberkulosis (TB) pada tahun 2020 (termasuk 214 000 orang dengan HIV). TB adalah penyebab kematian terbesar ke-13 di dunia dan penyakit menular penyebab kematian terbesar kedua setelah COVID-19 (di atas HIV/AIDS).

Pada tahun 2020, 30 negara dengan beban TB yang tinggi menyumbangkan 86% kasus TB baru. Dua pertiga jumlah ini berasal dari delapan negara, dengan India sebagai penyumbang terbesar, diikuti Tiongkok, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan.

Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat terutama di negara yang sedang berkembang. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Lebih dari 724.000 kasus TBC baru ditemukan pada 2022, dan jumlahnya meningkat menjadi 809.000 kasus pada 2023. Jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus sebelum pandemic yang rata-rata penemuannya dibawah 600.000 per tahun.

Estimasi insiden TBC Indonesia tahun 2021 sebesar 969.000 atau 354 per 100.000 penduduk; TB-HIV sebesar 22.000 kasus per tahun atau 8,1 per 100.000 penduduk. Kematian karena TBC diperkirakan sebesar 144.000 atau 52 per 100.000 penduduk dan kematian TBC-HIV sebesar 6.500 atau 2,4 per 100.000 penduduk.

Komitmen global dalam mengakhiri tuberkulosis dituangkan dalam End TB Strategy yang menargetkan penurunan insidensi tuberkulosis 80% dan kematian akibat tuberkulosis hingga 90% pada tahun 2030. Kementerian Kesehatan RI telah menyusun Peta Jalan Eliminasi sesuai dengan target global pada tahun 2030 insidensi turun 80% menjadi 65 per 100.000 penduduk dan kematian turun menjadi 6 per 100.000 penduduk dengan upaya meningkatkan cakupan penemuan dan pengobatan tuberkulosis 90, angka keberhasilan pengobatan tuberculosis 90% serta terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) 80%.

Sakit selalu memiliki dampak ekonomi karena untuk sembuh dibutuhkan biaya yaitu biaya untuk perawatan dan obat. Terlebih jika penyakit yang di derita butuh proses panjang untuk bisa sembuh seperti TB yang membutuhkan waktu 6 bulan mengkonsumsi obat. Waktu penyembuhan bisa lebih panjang jika TB yang diidap adalah TB resisten obat atau TB RO.

TB resistan obat (TB-RO) masih menjadi krisis kesehatan masyarakat dan ancaman keamanan kesehatan. Pada tahun 2020, hanya sekitar satu dari tiga orang dengan TB-RO yang mengakses pengobatan.

Di seluruh dunia pada tahun 2018, angka keberhasilan pengobatan pasien TB-RO atau TB resistan rifampisin (TB-RR) adalah 59%. Pada tahun 2020, WHO merekomendasikan regimen pengobatan oral baru yang lebih pendek (9--11 bulan) untuk pasien dengan TB-RO. Penelitian menunjukkan bahwa pasien merasa lebih mudah menyelesaikan regimen ini, dibandingkan regimen-regimen lebih panjang yang dapat berlangsung hingga 20 bulan.

Bagaimana TB memberi dampak ekonomi pada penderitanya, sedangkan obat anti TB tersedia gratis?  Benar sekali. Namun perlu diingat TB umumnya menyerang usia produktif (15-55 tahun).Saat seseorang terjangkit TB ada banyak kemungkinan yang dilakukan. Penderita melakukan pengobatan secara tuntas hingga sembuh total atau lalai dalam melakukan pengobataan sehingga menderita TB resisten obat atau TB RO.

Jika seorang karyawan dan menderita TB RO besar kemungkinan dia resign dari tempat kerja karena pengobatan untuk TB RO memerlukan penderita datang ke klinik atau rumah sakit secara periodik, kemungkinan kedua dia dikeluarkan dari tempat kerja dengan alasan khawatir menulari karyawan lain atau mencemari produk jika dia bekerja di perusahaan farmasi atau makanan yang harus higienis.

WHO memperkirakan bahwa pasien TB kehilangan rata-rata tiga sampai empat bulan pekerjaan dan sampai 30 persen dari pendapatan rumah tangga tahunan. Repotnya lagi ketika penderita adalah tulang punggung keluarga yang akibat TB kemudian harus beristirahat dan tak dapat bekerja. Penelitian menunjukkan bahwa 3 atau 4 bulan masa kerja akan hilang karena seseorang menderita TB. Hal itu berpotensi menyebabkan hilangnya 20-30% pendapatan rumah tangga dalam setahun.

Lima puluh persen pasien tuberculosis mengalami penurunan pendapatan per tahunnya. Lebih menyedihkan lagi kalau kemudian terjadi kematian akibat TB. Apalagi jika yang meninggal adalah kepala keluarga yang menafkahi seluruh anggota keluarga. Maka keluarga yang ditinggalkan tentu akan kehilangan sumber nafkah mereka dan sangat boleh jadi akan terjerumus dalam kemiskinan.Bahkan hal ini pernah diteliti. Hasilnya, jika seseorang yang merupakan kepala keluarga meninggal akibat TB, maka keluarga yang ditinggalkannya akan kehilangan sekitar 13-15 tahun penghasilan.

Bagi pasien yang mampu atau bahkan sudah pensiun tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umur muda, masih bekerja atau bahkan tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak.

TB dan kemiskinan terkait erat. Mengingat orang tinggal di kondisi padat penduduknya dengan perekonomian yang rendah, dengan kondisi sanitasi dan lingkungan fisik rumah yang buruk, serta nutrisi yang tidak tercukupi membuat mereka lebih berpotensi untuk terkena TB.

Orang yang terkena TB juga lebih mungkin untuk jatuh kedalam kemiskinan, mengingat dampak ekonomi dari penyakit ini. Hubungan erat antara kemiskinan dan TB telah membuat masyarakat berfikir bahwa TB merupakan penyakit eksklusif orang yang miskin atau orang dengan tingkat ekonomi rendah, namun dugaan ini tidak sepenuhnya benar, bahwa orang dengan tingkat sosial ekonomi menengah keatas pun juga bias terkena penyakit ini, karena penyakit ini bersifat menular. Orang bisa tertular ditempat-tempat dengan resiko penularan yang tinggi seperti di tempat kerja. Orang yang lebih sering bekerja dan kontak dengan penderita TB seperti petugas kesehatan, petugas laboraorium juga memiliki risiko tinggi untuk tertular penyakit ini.

Beban biaya ekonomi akibat penyakit TB dengan melihat alur kejadian dan biaya yang timbul baik pasien yang diobati maupun tidak diobati. Jenis biaya yang diperhitungkan adalah :

  1. Biaya medis TB dari pasien yang dirawat (medical cost of patient treated)
  2. Beban biaya rumah tangga untuk pasien yang diobati (household cost of patient treated)
  3. Kerugian produktivitas akibat disabilitas (loss of productivity due to disability)
  4. Kerugian produktivitas akibat kematian prematur (loss of productivity due to premature death).

Berbicara masalah tekanan ekonomi akibat penyakit TB, Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI menyatakan kerugian ekonomi akibat TB dapat dilihat dari 4 aspek. Pertama adalah Health consumption effect, yaitu kerugian dalam bentuk berkurangnya konsumsi barang atau jasa kesehatan akibat sakit atau meninggal. Aspek kerugian yang kedua adalah Social interaction and leisure effects, yaitu kerugian akibat terhambatnya interaksi sosial dan kurangnya waktu luang untuk santai. Ketiga, Short term production effects, misalnya berupa keluarnya biaya untuk berobat dan hilangnya hari kerja produktif maupun turun atau hilangnya kesempatan mengurus keluarga dan rumah tangga secara baik. Yang terakhir, Long term production consumption effect, dalam bentuk efek demografis konsumsi serta suplai tenaga kerja.

TB adalah suatu penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan. Pengobatan standar untuk TB aktif yang sensitif terhadap obat berlangsung selama 6 bulan dengan empat obat antimikroba yang disertai dengan informasi dan dukungan bagi pasien dari tenaga kesehatan atau sukarelawan terlatih. Tanpa dukungan ini, kepatuhan pada pengobatan menjadi lebih sulit. Sejak tahun 2000, diperkirakan 66 juta nyawa berhasil diselamatkan dengan diagnosis dan pengobatan TB.

Begitu besar dampak ekonomi yang timbul akibat penyakit TB, marilah sama-sama kita dukung dalam proses penyembuhan pasien TB. Penanggulangan TB tidak bisa dilakukan hanya oleh Pemerintah atau jajaran kesehatan saja, tetapi harus melibatkan mitra dan sektor terkait yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, pasien TB, maupun mantan pasien TB. Mari kita Bersatu Menuju Indonesia Bebas TB dengan menemukan dan menyembuhkan TB, bukan sekedar slogan semata, tetapi momentum ini kita bulatkan tekad dan satukan langkah dalam mencapai target pengendalian TB di Indonesia.

artikel ini telah dipublikasikan di https://aceh.tribunnews.com/2015/03/24/dampak-ekonomi-akibat-tuberkulosis oleh penulis yang sama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun