Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan dengan tingkat kesakitan dan kematian yang tinggi, terutama di negara-negara berkembang. Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Hingga 1,5 juta orang meninggal akibat tuberkulosis (TB) pada tahun 2020 (termasuk 214 000 orang dengan HIV). TB adalah penyebab kematian terbesar ke-13 di dunia dan penyakit menular penyebab kematian terbesar kedua setelah COVID-19 (di atas HIV/AIDS).
Pada tahun 2020, 30 negara dengan beban TB yang tinggi menyumbangkan 86% kasus TB baru. Dua pertiga jumlah ini berasal dari delapan negara, dengan India sebagai penyumbang terbesar, diikuti Tiongkok, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan.
Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat terutama di negara yang sedang berkembang. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Lebih dari 724.000 kasus TBC baru ditemukan pada 2022, dan jumlahnya meningkat menjadi 809.000 kasus pada 2023. Jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus sebelum pandemic yang rata-rata penemuannya dibawah 600.000 per tahun.
Estimasi insiden TBC Indonesia tahun 2021 sebesar 969.000 atau 354 per 100.000 penduduk; TB-HIV sebesar 22.000 kasus per tahun atau 8,1 per 100.000 penduduk. Kematian karena TBC diperkirakan sebesar 144.000 atau 52 per 100.000 penduduk dan kematian TBC-HIV sebesar 6.500 atau 2,4 per 100.000 penduduk.
Komitmen global dalam mengakhiri tuberkulosis dituangkan dalam End TB Strategy yang menargetkan penurunan insidensi tuberkulosis 80% dan kematian akibat tuberkulosis hingga 90% pada tahun 2030. Kementerian Kesehatan RI telah menyusun Peta Jalan Eliminasi sesuai dengan target global pada tahun 2030 insidensi turun 80% menjadi 65 per 100.000 penduduk dan kematian turun menjadi 6 per 100.000 penduduk dengan upaya meningkatkan cakupan penemuan dan pengobatan tuberkulosis 90, angka keberhasilan pengobatan tuberculosis 90% serta terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) 80%.
Sakit selalu memiliki dampak ekonomi karena untuk sembuh dibutuhkan biaya yaitu biaya untuk perawatan dan obat. Terlebih jika penyakit yang di derita butuh proses panjang untuk bisa sembuh seperti TB yang membutuhkan waktu 6 bulan mengkonsumsi obat. Waktu penyembuhan bisa lebih panjang jika TB yang diidap adalah TB resisten obat atau TB RO.
TB resistan obat (TB-RO) masih menjadi krisis kesehatan masyarakat dan ancaman keamanan kesehatan. Pada tahun 2020, hanya sekitar satu dari tiga orang dengan TB-RO yang mengakses pengobatan.
Di seluruh dunia pada tahun 2018, angka keberhasilan pengobatan pasien TB-RO atau TB resistan rifampisin (TB-RR) adalah 59%. Pada tahun 2020, WHO merekomendasikan regimen pengobatan oral baru yang lebih pendek (9--11 bulan) untuk pasien dengan TB-RO. Penelitian menunjukkan bahwa pasien merasa lebih mudah menyelesaikan regimen ini, dibandingkan regimen-regimen lebih panjang yang dapat berlangsung hingga 20 bulan.
Bagaimana TB memberi dampak ekonomi pada penderitanya, sedangkan obat anti TB tersedia gratis? Â Benar sekali. Namun perlu diingat TB umumnya menyerang usia produktif (15-55 tahun).Saat seseorang terjangkit TB ada banyak kemungkinan yang dilakukan. Penderita melakukan pengobatan secara tuntas hingga sembuh total atau lalai dalam melakukan pengobataan sehingga menderita TB resisten obat atau TB RO.
Jika seorang karyawan dan menderita TB RO besar kemungkinan dia resign dari tempat kerja karena pengobatan untuk TB RO memerlukan penderita datang ke klinik atau rumah sakit secara periodik, kemungkinan kedua dia dikeluarkan dari tempat kerja dengan alasan khawatir menulari karyawan lain atau mencemari produk jika dia bekerja di perusahaan farmasi atau makanan yang harus higienis.
WHO memperkirakan bahwa pasien TB kehilangan rata-rata tiga sampai empat bulan pekerjaan dan sampai 30 persen dari pendapatan rumah tangga tahunan. Repotnya lagi ketika penderita adalah tulang punggung keluarga yang akibat TB kemudian harus beristirahat dan tak dapat bekerja. Penelitian menunjukkan bahwa 3 atau 4 bulan masa kerja akan hilang karena seseorang menderita TB. Hal itu berpotensi menyebabkan hilangnya 20-30% pendapatan rumah tangga dalam setahun.