Pakaian saat ini tidak hanya diartikan sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi, tetapi masyarakat mulai memandang dan menilai pakaian sebagai suatu komoditas yang perkembangannya selalu mengikuti tren yang sedang diganderungi.
Perkembangan minat masyarakat yang semakin besar terhadap mode pakaian atau biasa dikenal fashion menciptakan adanya perubahan model pakaian yang sangat cepat dalam hitungan per detik. Oleh karena itu, fashion secara tidak langsung telah menjadi 'majikan' kapitalisme dengan masyarakat sebagai 'budaknya' untuk rela mengeluarkan uang demi mendapatkan mode pakaian yang diinginkannya.
Sementara itu, kehadiran model fashion yang selalu berganti menciptakan banyak lapangan usaha bisnis-bisnis fashion pada tingkat mikro lainnya sebagai inspirasi design fashion miliknya. Namun, di sisi lain adanya percepatan dalam perubahan tren di industri fashion tersebut menyebabkan kemunculan rasa FOMO atau sekedar ikut-ikutan karena takut tertinggal.
Salah satunya, cerita dari seorang mahasiswa dari sebuah universitas di Surabaya bernama Keisha yang memiliki latar belakang berasal dari ibu kota Jakarta. Dirinya menceritakan bahwa teman-temannya yang berada di Jakarta saat ini rela menghamburkan berjuta-juta uang demi mengikuti tren pakaian yang ada. Salah satunya yakni trend old money fashion.
Tren old money fashion mengacu pada gaya berpakaian yang seringkali dikaitkan dengan mode berpakaian orang-orang kaya dan terhormat yang memiliki kekayaan secara turun-temurun. Gaya ini menonjolkan keanggunan, kesederhanaan, kesan berkelas, dan profesional. Pakaian ala old money fashion juga lebih berfokus pada kualitas daripada kuantitas. Pakaian yang dipilih pun bersifat versatile atau serbaguna dan timeless atau tak lekang oleh waktu.
Jika dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya berdasarkan tren tersebut. Golongan gaya dicirikan dengan warna-warna pakaian yang netral, penggunaan aksesoris yang sederhana, model pakaiannya simple, print logonya tidak besar dan banyak, serta bahan pakaiannya berkualitas. Sedangkan, sebaliknya new money fashion termasuk dalam ciri kelompok yang warna pakaiannya vivid, modelnya beragam dan unik, serta print logo pada pakaian tersebut terpampang besar atau banyak.
Balik lagi kembali pada kisah Keisha tadi. Dirinya juga menilai bahwa dengan adanya tren yang viral di media sosial tersebut tidak sepenuhnya membawa sisi buruk. Ada juga dampak positif lain yang yang ditimbulkan dari adanya trend tersebut.
"Kalau menurutku sih, seharusnya dengan adanya trend old money fashion ini yang seringkali dibanding-bandingkan dengan new money fashion secara positif dapat lebih membuka wawasan masyarakat untuk mau mencari tahu lagi lebih dalam tentang fashion," jelas Keisha.
Hal ini ditambahkan juga oleh mahasiswa tata busana sekaligus stylish pakaian, Vara dan Karina yang menyatakan bahwa jika melihat dari karakter old money fashion yang tak lekang waktu maka mode pakaian yang digunakan pun bisa bersifat keberlanjutan sehingga ramah terhadap lingkungan.
"Justru dari yang aku lihat, orang yang benar-benar penganut old money fashion itu adalah orang yang bijak dalam memilih pakaiannya. Tidak hanya memertimbangkan harga dan model, tetapi juga bagaimana pakaian itu dapat digunakan dalam jangka waktu panjang," tambah Vara.
Dalam cara berpikir orang modern saat ini, pakaian merupakan sebuah investasi jangka panjang yang tidak berguna di masa kini, tetapi juga nilai pakaian tersebut akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan.
Lalu, jika berbicara mengenai pengaruh dari adanya tren tersebut terhadap pakaian tradisional yang memunyai ciri khas Indonesia tentu akan sangat membawa perubahan selera dan sudut pandang masyarakat. Namun, hal tersebut justru dapat berakulturasi dengan baik sehingga memunculkan ragam budaya Indonesia yang lebih bervariasi.
"Menurutku enggak akan terpengaruh sih karena justru sekarang juga lagi digalakkan tren 'Mari Berkain' agar mengajak anak-anak muda lebih mencintai pakaian budaya Indonesia melalui model-model pakaian yang disesuaikan, unik, dan menarik. Jadi, hal tersebut justru bisa terakulturasi dengan baik untuk menciptakan variasi budaya yang lebih beragam," tutur Keisha.
Sebagai seorang pengamat, Karina justru memberikan pandangan lain terkait pengaruh tren old money fashion yang berbau westernisasi saat bercampur dengan budaya Indonesia.
"Tren ini enggak sekedar menjadi bahan akulturasi budaya aja, tapi sebenarnya kalau kita lihat kilas balik industri pakaian di Indonesia, secara tidak sadar sebenarnya Indonesia sendiri pun punya versi old fashionnya sendiri. Kalau kita lihat batik tulis dengan harga yang mahal itu dimana melalui proses pengerjaannya dengan sangat rumit, handmade, kain yang digunakan kualitasnya juga sangat bagus, warnanya tahan lama, dan bisa digunakan kapan saja. Sebenarnya batik tulis kita aja sudah termasuk gaya old fashion Indonesia," terang Karina.
Vara juga menambahkan dengan memberikan contoh lain, "Selain, ada juga tenun yang terbuat dari kain sutra dimana harus dirangkai secara satu per satu sehingga bisa menjadi suatu pakaian, itu juga sudah menjadi contoh lain dari old fashion yang dimiliki Indonesia tanpa kita sadari".
Jika berbicara mengenai ujung benang dari adanya perdebatan antara old money fashion ataupun new money fashion ini yakni seberapa jauh masyarakat telah dieksploitasi dalam agenda kapitalisme para pebisnis industri mode. Keisha melalui contoh yang dia paparkan di awal tadi berpendapat bahwasanya memang melalui tren tersebut menyebabkan timbulnya perasaan di masyarakat terlalu mengagungkan old money fashion tanpa lebih menitik beratkan pada esensi dan tujuan dari pakaian yang mereka beli.
Vara dan Karina memberikan suatu penjelasan yang sedikit berbeda tentang pemahaman masyarakat terkait istilah old money dan fashion itu sendiri. Sebab keduanya jika ditelaah secara kebahasaan memiliki makna yang berbeda.
"Sebenarnya masyarakat itu harus memahami lebih dulu apa sih pemaknaan dari old money dan fashion. Sebab itu dua padanan kata yang beda. Menurutku istilah old money itu ditujukan kepada golongan orang-orang yang memang sudah kaya sejak dulu dan hal itu juga menunjukkan sebuah kasta dari sistem kelas sosial yang ada di masyarakat.
Tapi, kalau fashion sendiri itu sesuatu yang dibuat atas dasar selera masing-masing orang. Jadi, dari tren itu seperti ada kesalahpahaman masyarakat dalam memandang dan mempersepsikan penggambaran old money," tutur Vara.
Karina turut memberikan pandangannya dengan menambahkan, "Bener sih karena bagiku orang yang old money itu justru orang yang bijak. Dia benar-benar sangat pemilih dalam membeli pakaian yang mempunyai nilai guna yang dapat digunakan sampai kapanpun. Mungkin menurutku juga, seharusnya masyarakat tidak hanya mengikuti dengan bersikap FOMO (fear of missing out) dengan adanya tren ini, tapi juga ikut menciptakan 'old money' versi dirinya masing-masing," tutupnya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H