Disinilah letak perbedaan persepsi yang terjadi, dimana bagi yang kontra berpendapat bahwa dengan dihapusnya barang sembako dan jasa pendidikan dari daftar engecualian PPN yang tidak dikenai pajak, maka otomatis barang tersebut terutang PPN dan harus disetorkan ke negara. Sementara sesuai dengan mekanisme yang ada dan diatur dalam UU PPN, BKP dan/atau JKP yang dikenai PPN, terutang pada saat dilakukan penyerahan oleh PKP.
Terkait pemenuhan rasa keadilan juga terdapat perbedaan persepsi, dimana pendapat yang kontra memandang dari sudut konsumen yang memanfaatkan barang dan jasa. Penghapusan kelompok barang kebutuhan pokok dari draft RUU KUP, akan berdampak membebani masyarakat kecil dengan kenaikan harga dari barang tersebut sehingga mencederai rasa keadilan masyarakat.
Sementara dari pihak Pemerintah menyatakan bahwa pengecualian kelompok barang kebutuhan pokok dari pengenaan PPN akan mengakibatkan terjadinya distorsi dan tidak tepat sasaran karena kalangan masyarakat yang mampu membayar pajak, juga dikecualikan dalam membayar pajak.
Oleh karenanya, Pemerintah ingin menata ulang sistem perpajakan yang ada, dimana pengenaan pajak disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat dalam berkontribusi kepada negara sesuai dengan azas kegotongroyongan. Golongan yang mampu berkontribusi dan golongan yang tidak mampu diberikan subsidi. Hal ini sesuai dengan butir-butir yang terdapat dalam sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yaitu antara lain mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan, mengembangkan sikap adil terhadap sesama serta menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Agar perbedaan persepsi yang timbul sebagai akibat adanya rencana Pemerintah dalam melakukan perubahan perundang-undangan di bidang perpajakan, maka tentunya perlu adanya pembahasan antara Pemerintah dan badan legislatif. Dengan memanfaatkan timing yang ada selama masa pandemi Covid 19, dimana pemerintah disamping terus fokus terhadap penanggulangan pemulihan ekonomi dan pemberian fasilitas dan insentif fiskal, juga mengajukan perubahan sebagai penataan ulang sistem kebijakan perpajakan. Diharapkan dengan berakhirnya masa pandemi, proses pembahasan rancangan penataan ulang kebijakan tersebut dapat terus berlanjut.
RUU KUP memerlukan pembahasan yang komprehensif karena menyangkut hajat hidup bangsa dan negara. Selain dibahas bersama-sama dengan wakil rakyat yang ada di DPR, RUU ini juga memerlukan beberapa pendapat dan masukan, baik dari para ahli dan pakar di bidangnya maupun dari para pelaku usaha, sehingga masih memerlukan waktu dan proses yang panjang untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
Banjarmasin, Â Juni 2021
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H