Mohon tunggu...
Azwar Syam
Azwar Syam Mohon Tunggu... Penulis - Nikmati hidup tanpa merusak ekosistem

bagikan ilmu agar bermanfaat bagi diri, orang lain dan dunia

Selanjutnya

Tutup

Money

Sembako Kok Dipajakin?

23 Juni 2021   19:30 Diperbarui: 23 Juni 2021   19:47 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa hari bekakangan ini, sangat ramai di berita terkait rencana pemerintah akan mengenakan pajak atas sembako dan jasa pendidikan.

Berbagai macam pendapat yang kontra akan rencana kebijakan ini dikemukakan dikalangan masyarakat, baik masyarakat awam, pengamat dan kalangan politisi, memberikan komentar yang beragam. Ada yang berpendapat bahwa kalau negara mau naikin pajak untuk sembako, berarti negara itu tidak memperhatikan rakyat kecilnya. Seorang ekonom menilai wacana penerapan pajak pada sembako tidak mencerminkan keadilan. Ada juga yang berpendapat bahwa rencana sembako dikenakan pajak berpotensi melanggar sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Tanggapan masyarakat tersebut sebagai respon terhadap rencana pemerintah yang tertuang dalam draft revisi UU kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang beredar di media. Dalam RUU tersebut, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak tidak termasuk lagi sebagai kelompok barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dan jasa yang tidak dikenai PPN, dimana jasa pelayanan kesehatan medik dan jasa pendidikan dalam UU PPN masih termasuk jasa yang tidak dikenai PPN, dalam RUU ini juga dihapus sehingga menjadi jasa yang dikenai PPN.

Penjelasan Pemerintah terkait rencana tersebut disampaikan oleh Yustinus Prastowo, staf khusus Menteri Keuangan, bahwa pengenaan tarif PPN untuk sembako, jasa pendidikan dan jasa pelayanan kesehatan medik merupakan bagian dari reformasi perpajakan. Reformasi ini diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih adil dan tepat sasaran. Saat ini, pengecualian PPN menyasar semua kalangan sehingga subsidi PPN tidak hanya menyasar kalangan miskin namun juga kelompok kaya. Agar tercipta ruang bagi Pemerintah untuk menjadikan kelompok kaya sebagai subjek PPN dan menyubsidi kelompok miskin, maka Pemerintah perlu menata ulang aturan yang ada dengan mengeluarkan jenis barang dan jasa tertentu terlebih dahulu sebagai barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. Tentu berbeda daya beli antara masyarakat yang mengkonsumsi beras premium dengan  masyarakat yang hanya mengkonsumsi beras biasa. Demikian juga sekolah berbayar sangat mahal dengan sekolah yang tak berbayar, serta jasa pelayanan kesehatan medik seperti jasa operasi bedah plastik yang konsumennya hanya dari kalangan tertentu saja dibanding denga operasi batu ginjal, yang konsumennya bisa dari semua kalangan.

Dari pendapat yang kontra maupun yang disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Keuangan, sama-sama menyinggung tentang keadilan dalam rencana pemerintah menghapus barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat serta jasa pendidikan dan jasa pelayanan kesehatan medik dari pengecualian barang dan jasa yang dikenai PPN. Perbedaan di antara keduanya terletak pada sudut pandang masing-masing terhadap Subjek PPN yang akan terdampak dengan diberlakukannya ketentuan tersebut.

Terlepas dari adanya sudut pandang yang berbeda antara keduanya terkait siapa yang akan terkena dampak terhadap pengenaan PPN atas sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tersebut, perlu dipahami bahwa mekanisme pengenaan PPN dilakukan melalui pemungutan yang dilakukan oleh pengusaha yang menyerahkan/menjual Barang Kena Pajak (BKP) atau memberikan Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pihak pembeli barang atau yang memanfaatkan jasa. Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Pengusaha yang dikecualikan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dimana batasannya saat ini adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto selama 1 (satu) tahun buku tidak lebih dari  Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Namun pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP walaupun peredaran usahanya belum melewati batasan tersebut.

PPN dikenakan antara lain atas penyerahan BKP dan/atau JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang telah atau seharusnya dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha kecil yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, bila peredaran brutonya selama 1 (satu) tahun buku tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dan tidak memilih dikukuhkan sebagai PKP, maka tidak wajib memungut PPN.

PPN merupakan pajak objektif yang sifat pengenaannya tidak langsung. PPN merupakan pajak konsumsi, dimana pihak yang memanfaatkan BKP dan/atau JKP (konsumen) yang melakukan pembayaran pajaknya dan terutang melalui pemungutan yang dilakukan oleh PKP.

Jadi dapat disimpulkan bahwa PPN baru akan terutang apabila PKP melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. Apabila BKP dan/atau JKP penyerahannya dilakukan oleh bukan PKP, maka belum dikatakan terutang PPN.

Dalam draft RUU KUP, dimana kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, serta jasa pendidikan dan jasa pelayanan kesehatan medik dihapus sebagai jenis barang dan jasa yang tidak dikenai PPN sehingga barang dan jasa tersebut menjadi BKP dan JKP.

Namun sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa penyerahan BKP dan/atau JKP baru akan terutang apabila penyerahannya dilakukan oleh PKP. Pengusaha kecil yang bukan PKP, bila menyerahkan BKP dan/atau JKP, maka tidak terutang PPN.

Disinilah letak perbedaan persepsi yang terjadi, dimana bagi yang kontra berpendapat bahwa dengan dihapusnya barang sembako dan jasa pendidikan dari daftar engecualian PPN yang tidak dikenai pajak, maka otomatis barang tersebut terutang PPN dan harus disetorkan ke negara. Sementara sesuai dengan mekanisme yang ada dan diatur dalam UU PPN, BKP dan/atau JKP yang dikenai PPN, terutang pada saat dilakukan penyerahan oleh PKP.

Terkait pemenuhan rasa keadilan juga terdapat perbedaan persepsi, dimana pendapat yang kontra memandang dari sudut konsumen yang memanfaatkan barang dan jasa. Penghapusan kelompok barang kebutuhan pokok dari draft RUU KUP, akan berdampak membebani masyarakat kecil dengan kenaikan harga dari barang tersebut sehingga mencederai rasa keadilan masyarakat.

Sementara dari pihak Pemerintah menyatakan bahwa pengecualian kelompok barang kebutuhan pokok dari pengenaan PPN akan mengakibatkan terjadinya distorsi dan tidak tepat sasaran karena kalangan masyarakat yang mampu membayar pajak, juga dikecualikan dalam membayar pajak.

Oleh karenanya, Pemerintah ingin menata ulang sistem perpajakan yang ada, dimana pengenaan pajak disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat dalam berkontribusi kepada negara sesuai dengan azas kegotongroyongan. Golongan yang mampu berkontribusi dan golongan yang tidak mampu diberikan subsidi. Hal ini sesuai dengan butir-butir yang terdapat dalam sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yaitu antara lain mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan, mengembangkan sikap adil terhadap sesama serta menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Agar perbedaan persepsi yang timbul sebagai akibat adanya rencana Pemerintah dalam melakukan perubahan perundang-undangan di bidang perpajakan, maka tentunya perlu adanya pembahasan antara Pemerintah dan badan legislatif. Dengan memanfaatkan timing yang ada selama masa pandemi Covid 19, dimana pemerintah disamping terus fokus terhadap penanggulangan pemulihan ekonomi dan pemberian fasilitas dan insentif fiskal, juga mengajukan perubahan sebagai penataan ulang sistem kebijakan perpajakan. Diharapkan dengan berakhirnya masa pandemi, proses pembahasan rancangan penataan ulang kebijakan tersebut dapat terus berlanjut.

RUU KUP memerlukan pembahasan yang komprehensif karena menyangkut hajat hidup bangsa dan negara. Selain dibahas bersama-sama dengan wakil rakyat yang ada di DPR, RUU ini juga memerlukan beberapa pendapat dan masukan, baik dari para ahli dan pakar di bidangnya maupun dari para pelaku usaha, sehingga masih memerlukan waktu dan proses yang panjang untuk ditetapkan sebagai undang-undang.

Banjarmasin,  Juni 2021

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun