Dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda tahun 2017, mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan acara bincang buku dengan tema "Grand Launching Al Maktubat", pada hari Sabtu, 28 Oktober 2017. Rangkaian acara ini selain membedah novel terbaru Cinta Seribu Nyawa (Azwar Sutan Malaka) dan buku kumpulan cerpen yang berjudul Bincang di Bawah Rembulan, Bintang dan Hujan(Laras Sekar Seruni) juga menampilkan kegiatan-kegiatan kreatif mahasiswa seperti pembacaan puisi dan musikalisasi puisi.
Selain kedua penulis buku, hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut adalah Rohmatul Hikmah yang membedah Kumcer Bincang di Bawah Rembulan, Bintang dan Hujan,Balqis Al Baihaqi membedah novel Cinta Seribu Nyawa, danMuhammad Ikhdan Khafiddin yang bicara tentang kegiatan menulis dalam dunia mahasiswa.
Acara yang diadakan di ruang Teater Lantai 2 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Â UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut dihadiri lebih kurang 200 mahasiswa. Peserta yang didominasi oleh anak-anak muda ini terlihat antusias mengikuti rangkaian kegiatan acara ini.
"Menulis adalah bentuk nyata kontribusi mahasiswa dalam membangun Indonesia," jelas mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), FIDIKOM, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Rohmatul Hikmah dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa kumpulan cerpen Bincang di Bawah Rembulan, Bintang dan Hujan yang ditulis Laras Sekar Seruni adalah karya yang pantas untuk dibaca anak-anak muda, karena tema yang ditawarkan oleh penulisnya adalah tentang kisah anak-anak muda.
"Bahasanya mudah dicerna, khas anak-anak muda, kumpulan cerpen yang terdiri dari 20 judul itu memiliki benang merah yaitu tema-tema seputar remaja," jelas Rohmatul Hikmah yang juga merupakan mahasiswi Prodi Jurnalistik, FIDIKOM, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Sementara itu Balqis Al Baihaqi yang membedah novel Cinta Seribu Nyawa (CSN) mengungkapkan bahwa novel CSN ini mengangkat tema romantisme anak muda, tapi bukan cinta-cinta biasa seperti dalam sinetron atau novel-novel remaja.
"Novel ini bergenre sastra, jadi dia tidak mengangkat cinta yang biasa, novel ini mengangkat kisah menarik dengan latar realis, puncak cerita ini adalah Gempa 30 September 2009 di Padang yang menimpa tokoh utama dalam cerita ini," jelas Balqis.
Singkat cerita, Narisha mencari Alam ke Padang hanya berbekal fotocopy KTP Alam. Karena semua nomor kontak Alam sudah tidak bisa dihubungi. Novel ini berkisah tentang perjuangan perempuan muda lulusan Universitas Indonesia itu mencari Alam dan mendapatkan cinta lelaki unik itu.
Sesampai di Bukittinggi, Narisha tahu ternyata Alam pulang ke kampung halamannya untuk merawat Ibunya yang sedang sakit. Alam anak tunggal dalam keluarganya, sementara Ayahnya sudah duluan meninggal dunia. Ibunya yang sebatangkara itu selama Alam di Jakarta dirawat oleh Alia, janda beranak satu yang merupakan mantan pacar Alam.
Narisha ternyata memiliki batas perasaan juga, betapapun dia jatuh cinta, akhirnya rasa putus asa membawanya kembali ke Jakarta. Alia sadar Narisha sangat mencintai Alam, dia menolak pinangan Alam. Tapi Alam sudah bulat tekadnya untuk menikahi Alia demi Ibunya.
Alia akhirnya pasrah tapi dia menyampaikan syarat mau dinikahi Alam asalkan Alam sudah menikahi Narisha terlebih dahulu. Alam menyusul Narisha ke Padang untuk menyampaikan perasaannya yang sebenarnya bahwa dia juga mencintai Narisha. Tapi Alam terlambat, karena Narisha menjadi korban gempa 30 September 2009.
Pada kesempatan yang sama, Laras Sekar Seruni yang sudah menulis dua buku tunggal dan 44 buku antologi bersama ini menceritakan proses kreatifnya dalam menulis. Laras, begitu alumni UIN Jakarta itu dipanggil juga memotovasi peserta untuk terus menulis.
"Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah kerja untuk keabadian, jadi kalau ingin abadi maka menulislah," begitu pesan Laras pada peserta acara itu.
Lebih jauh Laras menyampaikan banyak hal terkait proses kreatif menulis dan juga industri buku saat ini. Laras bahkan menyinggung proses penerbitan buku fiksi secara indie dan juga secara mayor. Menurut Laras, kedua proses penerbitan itu ada untung dan ruginya. Persoalannya bukan pada proses penerbitannya, yang penting itu adalah proses menuliskan karya itu. (asm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H