Mohon tunggu...
Azwar Sutan Malaka
Azwar Sutan Malaka Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rapsodi

21 Oktober 2017   06:43 Diperbarui: 21 Oktober 2017   09:48 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Maria Cherry. Sumber www.agenda 18.web.id.

Ini lantunan lagu dari irama yang sudah jalin menjalin. Si Dullah yang sudah beberapa waktu meringkuk dalam penjara mulai berdamai dengan kenyataan. Ia dipenjara. Walau kadang ia masih mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri. Mengapa ia yang dipenjara? Sementara banyak orang yang berdosa? Sudahlah Dullah, berdamailah. Dendangkanlah lagu-lagu rindu pengobat sepimu.

Trak.., treng..teng...

Suara jeruji besi dibuka. Gembok besi besar berbenturan dengan besi-besi tua yang sudah hitam sehitam nasib petugas penjara itu.

"Masuk...," kata petugas itu pada seorang lelaki muda yang tertunduk dengan wajah lesu.

Pintu penjara ditutup kembali. Terdengar suara yang sama benturan gembok besar dengan jeruji besi. Si Dullah terdiam sesaat. Ia lihat lelaki muda itu masih terpaku di depan pintu penjara. Dia tidak beranjak dari depan jeruji besi, kakinya seperti kaku.

"Ayo..., duduklah di sini, istirahatlah sejenak," ajak Si Dullah.

Laki-laki itu mengikuti ajakan Si Dullah. Si Dullah kembali mendendangkan lagu mengusir sepi. Beberapa saat, dia lihat lelaki itu masih menunduk seperti memikirkan sesuatu.

"Kenapa kau masuk penjara?" kata Si Dullah setelah menghentikan dendangnya.

"Berantem dengan anggota DPR," jawab laki-laki itu.

"Oh iya, kita belum kenalan," kata Si Dullah sembari mengulurkan tangan dan menyebut namanya. Padahal dia sedang menguasai dirinya karena kaget dengan jawaban laki-laki itu.

"Buyung," jawab lelaki muda itu.

Ia datang dari desa, ingin kuliah ke kota. Ia sudah diterima di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Cuma sayangnya dia tidak punya cukup uang untuk membayar uang kuliah. Karena panik tidak bisa kuliah, padahal dia sudah jauh-jauh datang dari desa, Si Buyung memutar otaknya.

Dia ingat dulu ketika pemilu ada Calon Anggota DPR datang ke kampungnya. Ia sempat diberi kartu nama. Si Buyung mendatangi gedung DPR. Setelah shalat shubuh dia sudah pergi dari tempat kosnya di Depok. Ia berbondong-bondong naik KRL berdempet-dempet seperti ikan sarden.

Sebelum siang sempurna, ia sudah sampai di Senayan. Tempat pertama yang dia cari adalah kamar mandi. Ia harus mengganti pakaian, karena selama di KRL badannya sudah penuh dengan keringat. Untung ada masjid yang megah di lingkungan gedung itu. Ia numpang mandi di kamar mandi masjid dan kemudian berganti pakaian.

"Hmm.., niatmu kan baik, ingin kuliah, tapi mengapa sekarang ada di penjara?" tanya Si Dullah setelah beberapa saat mendengar cerita Si Buyung.

"Singkat cerita aku berhasil bertemu bapak yang dulu pernah ke kampungku," jawab Si Buyung.

Katanya dia lihat pintu ruangannya itu sedikit terbuka. Ia tanya pegawai di depan.

"Bapak ada?" tanya Si Buyung.

"Ada..., sebentar," kata pegawai itu. Kemudian dia masuk ke ruangan utama, tidak beberapa lama keluar lagi.

"Bapak tidak ada," jawab pegawai yang tampil necis itu.

Si Buyung tentu saja bingung. Tadi katanya ada, sekarang belum sampai satu jam sudah tidak ada. Si Buyung menunggu di depan ruangan anggota dewan yang terhormat itu. Dari dalam terdengar suara tawa beberapa orang sedang bicara.

Si Buyung masuk menyelonong ke ruangan itu. Pegawai yang tadi menjawab "Bapak tidak ada," tidak sempat mencegah Si Buyung masuk karena ia sibuk main facebook.

"Ada apa?" tanya lelaki yang Si Buyung masih ingat itu. Dia anggota DPR yang memberikan kartu nama padanya dulu.

"Maaf Pak, saya ingin minta bantuan," kata Si Buyung.

Anggota DPR itu marah karena merasa terganggu oleh kedatangan Si Buyung.

"Tidak bisa begini..., kamu nyelonong aja masuk kantor orang?"

"Saya ingin minta bantuan biaya kuliah Pak," jawab Si Buyung lagi menyampaikan maksudnya.

"Kuliah?" tanya anggota dewan itu.

"Iya Pak," jawab Si Buyung agak lega karena mulai ditanggapi anggota dewan itu.

"Kalau gak ada uang jangan kuliah," jawabnya sebal.

Si Buyung juga sebal. Ia lemparkan kartu nama yang dulu diberikan anggota dewan itu padanya.

"Dulu kata Bapak akan bantu kami kalau sudah terpilih jadi anggota dewan, sekarang malah membentak-bentak saya yang memilih Bapak," kata Si Buyung marah.

Akhirnya Si Buyung benar-benar sangat marah. Dia tidak bisa menahan emosinya.

"Dasar penipu!" kata Si Buyung.

Menurutnya, kata-kata terakhir itulah yang menjebloskannya ke penjara.

"Ya sudahlah..., kamu masih muda, jangan emosi begitu," nasehat Si Buyung. Si Dullah memejamkan matanya. Tapi kembali terbelalak mendengar jawaban anak muda itu.

"Kalau tidak emosi, kita tidak hidup di negeri ini Pak," katanya.

Jakarta 21 Oktober 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun