Mohon tunggu...
Azwar Sutan Malaka
Azwar Sutan Malaka Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hannah Arendt: Kisah Cinta Mahasiswa dan Dosen

20 Oktober 2017   23:34 Diperbarui: 20 Oktober 2017   23:54 2305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hannah Arendt. Sumber Foto www.biography.com

Hannah Arendt, adalah seorang filsuf perempuan ternama abad 20. Ia lahir di kota Linden (sekarang Hannover) pada tanggal 14 Oktober 1906. Hannah Arendt meninggal di New York, Amerika Serikat pada tanggal 14 Desember 1975. Ia dibesarkan di kota Konigsberg, kemudian ketika berusia 18 tahun ia kuliah di Universitas Marburg. Di kampus inilah dia bertemu dengan Martin Heidegger, dosen filsafatnya yang berhasil memikatnya karena pemikiran Heidegger yang menawan.

Pemikiran Arendt yang menarik adalah tentang tindakan memaafkan masa lalu sebagai jalan tengah untuk mencapai perdamaian. Bagi Arendt yang hidup dalam luka-luka sejarah, tindakan mengampuni adalah usaha membebaskan dendam-dendam masa lalu. Selain itu dia percaya, memaafkan atau mengampuni --istilah Arendt--, akan memberi kehidupan yang baru bagi aktor-aktor jahat atau yang dianggap jahat tersebut.

Membaca pemikiran Arendt, sama seksinya dengan mengulik kisah cinta terlarang yang dia bina dengan gurunya, Martin Heidegger. Mengikuti pemikiran perempuan cantik ini, khususnya tentang bagaimana ia memaafkan atau politik pengampunan, Nona Arendt --begitu Heidegger pertama menyapanya---sungguh suatu pelajaran berharga bagi kita, bangsa yang sedang sibuk mengutuki masa lalu ini.

Arendt tidak hanya berteori, apa yang sangat diyakininya itu sebagai usaha membangun dunia yang beradab di masa depan, telah dipraktekkannya. Ia adalah korban kejahatan cinta Martin Heidegger, sang guru dan juga kekasih gelapnya ketika ia masih berusia 18 tahun.

Bukan hanya kejahatan cinta, tetapi kejahatan terhadap kemanusiaan yang mewarnai peradaban. Waktu mengawali kuliah di Universitas Marburg, Jerman, pada tahun 1924, ia bertemu dengan Heidegger. Waktu itu, pria berusia 35 tahun itu sudah mencatatkan dirinya sebagai filsuf yang sedang naik daun.

Pemikiran-pemikiran Heidegger tentang fenomenologi membuat Arendt terpesona, hingga mereka mencatatkan kisah percintaan mereka menjadi legenda dalam sejarah para filsuf. Walau hanya belajar di Marburg selama setahun, tetapi kesannya terhadap Heidegger sangat dalam.

Pemikiran-pemikiran Arendt sangat terpengaruh oleh pemikiran guru dan kekasih gelapnya itu. Tahun 1933, Hitler memperoleh kekuasaan politik di Jerman. Bagi Heidegger, kekuasaan Hitler juga merupakan pintu untuk meraih jabatan-jabatan penting. Ia diangkat sebagai Rektor di Universitas Freigburg, Jerman. Heidegger disebut-sebut sebagai salah satu aktor intelektual yang mendukung pembantaian Nazi terhadap kaum Yahudi.

Di tengah bersinarnya Heidegger, yang petuah-petuahnya didengar penguasa, Arendt sang kekasih harus hidup dalam pelarian karena ia adalah salah seorang Yahudi. Apakah Heidegger menyelamatkan kekasihnya? Tidak, politik mengalahkan cintanya. Arendt terpaksa pindah ke New York bersama keluarganya.

Di Amerika Serikat, Arendt melanjutkan kerja intelektualnya, sehingga mendapat pengakuan sebagai cendekia terkemuka. Kisah pahit dicampakkan Heidegger dan pengkhianatan Heidegger terhadap kaum Yahudi memang menyisakan luka di hati Arendt. Walau bagaimana pun, dia perempuan yang juga memiliki rasa dan hati.

Akan tetapi pergulatan batin yang berat itu membawa  Arendt untuk mengambil sikap memaafkan Heidegger. Bahkan ia menjadi penyembuh jiwa Heidegger pada masa tua laki-laki itu, yang dimusuhi banyak teman-temannya. Saat banyak orang yang memusuhi Heidegger, Arendt justru berpihak pada filsuf penjilat penguasa itu. Arendt menjadi terapis bagi jiwa mantan dosennya dan juga mantan kekasihnya saat itu.

Saat Heidegger terpuruk, berada dalam titik nadir ketidakpercayaan diri, Arendt tetap menghormatinya Heidegger. Dalam pidato-pidatonya pada masa terkenal itu, Arendt tetap menyebut bahwa Heidegger sangat berpengaruh besar dalam kehidupan intelektualnya. Arendt membantu menyelesaikan krisis kepercayaan diri Heidegger.

Tahun 1964 Hannah Arendt membuat laporan jurnalistik yang berjudul Eichmann in Jerusalem; A report on The Banality of Evil. Tulisan tersebut merupakan laporan atas kesaksian Adolf Eichman, Kepala Transportasi menuju kamp pembantaian etnis Yahudi oleh Nazi. Dalam tulisan itu, Arendt menulis bahwa Eichmann adalah manusia yang kurang berpikir dan berimajinasi sehingga melahirkan kejahatan dan banalitas. Sebagian besar masyarakat Yahudi kecewa karena tulisan Arendt itu karena tidak menyebut Eichman sebagai penjahat.

Bagi Arendt, sikap dendam terhadap kejadian pada masa lalu hanya akan menimbulkan persoalan baru. Dendam tidak akan habis kalau terus dipelihara. Oleh sebab itu, dibutuhkan jiwa besar untuk memaafkan kejadian pahit yang sudah terjadi. 

Hal yang disampaikan di atas tentu relevan dengan apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia saat ini. Kita merawat dendam untuk mencapai kepentingan tertentu, demi keuntungan sesaat. Keuntungannya bukan untuk rakyat, tetapi hanya untuk segelintir orang. Mari saling mamaafkan, beri pengampunan seperti yang sudah dicontohkan Arendt. Mari kita lupakan mantan, eh... luka-luka masa lalu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun