Manusia selalu menuntut kepastian. Di sisi lain, kehidupan justru dipenuhi dengan ketidakpastian. Hari ini mendapat pujian, esok hari malah mendapat cacian. Teror ketidakpastian selalu berhasil mengusik hidup manusia dengan perasaan tak nyaman. Oleh sebab itu, pikiran cenderung memaku ekspektasi manusia pada harapan bahwa semuanya harus berjalan sebagaimana mestinya.
Nah, celah itulah yang menyebabkan pikiran manusia rentan pada bentuk argumentasi yang asal-asalan. Ketika sesuatu terjadi di luar keinginan atau harapan, pikiran merespon dengan; "Ah, hal itu tidak mungkin terjadi!" Kegagalan pikiran membangun skenario di luar ekspektasi ini yang menjebak manusia pada suatu jenis sesat pikir yang cukup populer bernama Beban Tuntutan Pembuktian (Burden of Proof).
Untuk membangun sebuah keyakinan baru di atas keyakinan yang lama akibat munculnya kasus baru, pikiran menuntut bukti. Masalahnya, meski bukti telah dihadirkan, pikiran belum tentu bisa menerima begitu saja. Sebab pikiran mesti terlebih dahulu menundukkan ketetapan hati dan hal itu bukan perkara mudah. Di ruang publik, terutama media sosial, model argumentasi yang dilandasi sesat pikir ini cukup populer.
Untuk menekankan konteks, saya contohkan bagaimana model argumentasi ini sering bertubrukan dengan kognisi sosial tentang konsep "reputasi." Taruhlah seorang pejabat yang dikenal punya prestasi di bidang anti korupsi, dibuktikan lewat penghargaan yang dia terima. Pemberian penghargaan itu tentu melewati proses rumit dengan mekanisme ketat yang menjamin kredibilitas pemberinya. Keputusan itu didukung oleh rekam jejak prestasi yang mengundang kekaguman.
Tiba-tiba pejabat tersebut ditangkap karena masalah korupsi. Pemberitaan sangat ramai dengan liputan khusus dan saling balas komentar antara mereka yang pro dan kontra di media sosial. Secara umum, kita menangkap dua bentuk pernyataan diskursif antara dua kubu. Berikut kita urai dalam bentuk sederhana. Perlu dicatat bahwa penyederhanaan ini bertujuan ilustratif dan tidak untuk generalisasi apalagi membangun stereotip:
Kubu A:Â
- Pak M punya reputasi yang bagus;Â
- Orang bereputasi tak mungkin melakukan korupsi;Â
- Oleh karena itu, berita tentang Pak M melakukan korupsi adalah tidak benar.Â
Kubu B:
- Pak M adalah pejabat;
- Setiap pejabat rentan melakukan korupsi;
- Oleh karena itu, berita tentang Pak M melakukan korupsi pasti benar.
Argumentasi Kubu A bertumpu pada penolakan (denial). Keyakinan lama yakni reputasi dianggap tidak relevan dengan keyakinan baru yaitu perilaku koruptif. Meski bukti sudah dihadirkan yaitu berita dan diverifikasi oleh pihak otoritatif (semisal KPK atau Kepolisian), keyakinan lama belum dapat digantikan. Penolakan ini dialihkan lewat pembenaran seperti menyebarkan narasi pengalihan seperti prestasi dan rekam jejak.
Argumentasi Kubu B bertumpu pada prasangka (prejudice). Model argumentasi ini menyandarkan bukti bukan kepada sumber otoritatif tetapi kepada persepsi masyarakat luas. Bila dianggap lumrah, argumen ini hanya menghasilkan rumor dan berpotensi mendesak publik untuk memaksakan penghukuman oleh massa (trial by mass). Hal itu tentu tidak sehat bagi iklim penegakan hukum di negara kita.
Kedua model argumentasi tersebut, pada hakikatnya, sama-sama tidak mengindahkan pembuktian empiris dalam penalarannya. Model argumentasi pertama menafikan bukti yang disampaikan oleh lembaga kredibel. Sedangkan model argumentasi kedua mendahulukan stereotip sebagai landasan pembenaran ketimbang bukti yang sudah dirilis secara resmi.
Masing-masing model argumentasi yang telah disebutkan tidak dapat dijadikan patokan dalam proses penalaran sebab tidak mengindahkan kaidah empiris. Keduanya tidak merujuk pada bukti yang dapat dirujuk atau diverifikasi serta bertumpu pada simpulan yang penuh bias. Meski sering disampaikan sebagai bentuk kritik, kedua model argumentasi ini sama sekali tidak sejalan dengan penalaran kritis.
Perdebatan yang terjadi dengan melibatkan kedua model argumentasi itu didasari saling lempar tanggungjawab antara pihak mana sebenarnya yang mampu menghadirkan bukti valid. Untuk menyelesaikannya, kedua pihak harus menyepakati terlebih dahulu metode pembuktian yang dijadikan sandaran. Dengan catatan bahwa penalarannya dilengkapi dengan bukti valid dan tidak didahului prasangka.
Benar atau Salah? Saya pun Tak Mau Tahu!
Berkaitan dengan metode pembuktian dan bukti, ada satu model argumentasi lagi yang perlu kita singgung. Model ini juga menyamarkan penalaran logis dengan membebankan pembuktian terbalik kepada lawan. Argumen yang tidak mampu menyediakan bukti pada saat dinyatakan, dalam artian koheren dengan menunjuk langsung rujukan dari bukti yang dimaksud, tidak berarti bahwa argumen tersebut mesti ditolak.
Merujuk teori kebenaran secara umum, argumen yang tidak koheren dengan pembuktian langsung dapat saja diterima jika ia konsisten atau tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang sudah diterima secara luas (kohesif) atau jika argumen itu dapat menyelesaikan suatu persoalan secara praktis (pragmatik). Bentuk penolakan argumen yang dimaksud umumnya mempunyai pola ungkapan seperti berikut:
- Jika tidak dapat dibuktikan sebagai salah maka ia pasti benar; sebaliknyaÂ
- Jika tidak dapat dibuktikan sebagai benar maka ia pasti salah;
Pola semisal itu sering dipakai sebagai landasan penalaran contoh-contoh berikut:Â
- Bila Tuhan itu ada maka buktikan! Sebab jika tidak dapat kamu buktikan maka Tuhan itu pasti tidak ada;Â
- Bila kamu tidak percaya Kitab Suci maka tunjukkan kesalahannya! Sebab jika tidak dapat kamu tunjukkan maka kamu harus mempercayainya;
Menjebak lawan untuk melakukan pembuktian terbalik tidak berarti bahwa bukti yang tidak bisa dia tunjukkan itu tidak ada. Sebab bisa saja bukti itu belum ditemukan atau telah ditemukan tapi pada saat itu dia belum tahu. Lagipula, bukti yang belum ditemukan juga tidak berarti bahwa ia tidak mungkin ditemukan. Mungkin saja metode dan instrumen yang digunakan saja yang belum tepat.
Selain itu, perlu ditekankan bahwa tujuan argumentasi atau saling adu argumen pada dasarnya untuk mencari penalaran terbaik terhadap pemecahan masalah. Usaha itu memang berupaya mengubah keyakinan seseorang terhadap sesuatu tetapi dilakukan secara persuasif bukan secara paksa. Pemaksaan terhadap perubahan keyakinan melanggar hak asasi manusia.
Terkadang pula argumen yang disampaikan tidak memperhatikan konteks atau bersandar pada kognisi sosial. Hal ini merujuk pada simpulan umum yang berasal dari ingatan publik sehingga putusan tentang valid atau tidaknya simpulan tersebut juga diserahkan pada penilaian publik. Oleh karena itu, argumen seperti ini tidak jelas cakupan dan batasannya. Contohnya seperti argumen berikut:
Argumen A: Kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Buktinya, kualitas sumber daya manusianya tidak dapat diandalkan; atau
Argumen B: Kualitas pendidikan di Indonesia sudah baik. Buktinya, kualitas sumber daya manusianya diakui oleh dunia.
Model argumentasi ini tidak menjelaskan alat ukur dan metode analisis yang memadai. Simpulannya hanya bersandar pada kecondongan publik terhadap pilihan masing-masing. Pemberi argumen merasa percaya diri karena sangat yakin bahwa metode pembuktian yang dia minta sulit diberikan. Sebab dia tidak membatasi kategori sehingga lebih leluasa mencari celah lewat kategori lainnya.
Sebagai contoh, ketika dia mengajukan Argumen AÂ di atas bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah karena SDMnya tidak dapat diandalkan. Ketika disajikan data tentang peningkatan SDM Indonesia maka dia akan mengelak dengan lari ke kategori lainnya seperti mengatakan bahwa jumlah pengangguran semakin meningkat.
Begitu ditunjukkan data jumlah pengangguran dengan instrumen tertentu yang tidak sesuai dengan simpulannya maka dia pun kembali mengelak dengan menyebutkan kategori lainnya. Begitu seterusnya. Dia hanya terpaku melakukan pembenaran dan terus mengelak untuk memperluas batasan dari pembahasan awal. Sebab semakin luas batasan dari suatu bahasan maka semakin sulit pula melihat konteksnya secara tepat. Begitu pun dengan tolok ukur yang mesti dirancang ulang untuk menyesuaikan.
Permainan argumentasi seperti ini hanya ingin membuyarkan fokus publik terhadap apa yang sebenarnya ingin dibahas dan diselesaikan. Pemberi argumen tidak berniat menyelesaikan bahasan pada satu kategori sebelum berpindah ke kategori lainnya karena hal itu akan menunjukkan ketidakcakapan dirinya dalam membangun struktur logis dari penalarannya.
Seperti kata Giovanni Tuzet bahwa ketiadaan bukti secara logis tidaklah sama dengan bukti akan ketiadaan (Absence of evidence isn't logically equivalent to evidence of absence). Maksudnya, tendensi pemberi argumen yang terus menerus meminta bukti yang tidak dapat ditunjukkan atau dihadirkan tidak dapat dipandang sebagai bukti baru bahwa apa yang dia minta memang tidak ada. Meski pada konteks ketiadaan barang bukti pada proses peradilan, seperti ungkap studinya, juga tidak dapat menjadi alasan pemberhentian tuntutan hukum.
Mari kita ilustrasikan:
Azwar terus mendesak saya untuk menunjukkan seperti apa wujud dari virus Corona. Saya tidak bisa memenuhi itu karena saya buka bukan ahli virus serta tidak punya instrumen untuk menunjukkan wujud dari virus Corona. Meskipun saya mempunyai instrumen, saya tidak memahami aplikasinya sebab saya tidak mengerti metodologi atau basis penalarannya.
Ketidakmampuan saya memenuhi permintaan Azwar kemudian dia jadikan sebagai bukti bahwa virus Corona itu tidak ada. Padahal, pembuktian saya tidak bisa dijadikan dasar karena bukan bidang keahlian saya. Keterbatasan itu tidak bisa begitu saja saya lampaui; butuh proses pendidikan dan penelitian yang panjang bagi saya untuk mendapatkan pengakuan keahlian di bidang itu.
Meski demikian, tidak berarti bahwa virus Corona tidak ada. Bukti (baik wujud, perilaku, hingga dampaknya) itu bisa ditunjukkan oleh mereka yang ahli di bidang itu. Saya akan meminta Azwar untuk mengalihkan tuntutan atas pembuktian virus Corona tersebut kepada mereka. Meski demikian, Azwar boleh menerima pembuktian mereka atau menolaknya, itu sepenuhnya menjadi tanggungjawab dia.
Debat: Olah Pikir Untuk Saling Memahami
Seperti yang disampaikan sebelumnya, agar adu argumentasi menjadi produktif maka kedua belah pihak mesti menyepakati kepada siapa tuntutan atas pembuktian itu ditujukan. Dengan catatan bahwa pihak manapun yang mendapatkan amanah itu perlu mengindahkan kaidah empiris dengan bersandar pada bukti yang dapat diverifikasi serta sedapat mungkin menjauhi bias pada simpulannya.
Kesepahaman tersebut tidak berhenti di tahap itu tetapi berlanjut hingga kebebasan setiap pihak untuk memilih keyakinan setelah pembuktian dilakukan. Apapun pilihannya, pihak yang satu mesti memahami dan menghargai pilihan pihak lainnya. Aturan yang sama juga berlaku kepada siapapun yang menyaksikan adu argumentasi dari kedua belah pihak tersebut.
Tanpa adanya kesepakatan basis penalaran dan kesepahaman, masing-masing pihak hanya akan saling melempar tuntutan untuk membuktikan simpulannya. Bahkan dengan hadirnya pakar di pihak ketiga sebagai penengah, setiap pihak akan bertahan dengan penalarannya sendiri. Pada tataran ini, tuntutan atas pembuktian hanya berfungsi sebagai pengalihan sebab tak satu pun pihak berorientasi menyelesaikan masalah.
Melemparkan perdebatan ke ruang publik atau membiarkan publik menyimpulkan sendiri hanya akan memperparah bias kognitif dari adu argumentasi itu. Masyarakat awam yang menyaksikan debat itu akan semakin bingung dan hanya menyisakan penalaran tanggung di benak mereka. Kondisi ini berkontribusi pada sikap keras kepala masyarakat terhadap anjuran Pemerintah meski pakar sudah dilibatkan.
Sekali lagi saya tegaskan, adu argumentasi bertujuan menyelesaikan masalah. Penalaran terbaik dengan metodologi ketat perlu mendapat prioritas tetapi yang paling penting untuk didahulukan adalah kebaikan bersama. Konteks memainkan peran penting dalam proses itu. Dalam penalaran logika informal, situasi tidak selalu dinilai hitam putih.
Proses persidangan, sebagai contoh, beban atas tuntutan pembuktian berada di pundak Jaksa Penuntut. Sebab kaidah dasar yang mesti dipahami oleh seluruh pihak yang terlibat di persidangan tersebut adalah terdakwa mesti dipandang tidak bersalah sampai ada bukti tetap yang menyatakan sebaliknya.
Kaidah itu memastikan harkat dan martabat penegakan hukum agar tidak semena-mena menjatuhkan tuduhan. Hukum memandang nyawa dan harga diri seseorang mesti dijamin hingga ada bukti meyakinkan yang menyatakan bahwa orang itu melanggar hukum sehingga harus mempertanggungjawabkan pelanggaran yang dibuatnya.
Keputusan Hakim untuk percaya bahwa terdakwa tidak bersalah meski telah tertangkap basah secara empiris keliru. Namun secara prosedural, keputusan itu dibenarkan sampai proses persidangan selesai dan putusan akhir ditetapkan berdasarkan bukti yang dihadirkan selama proses persidangan.
Konteks yang sama juga berlaku di bidang penalaran ilmiah. Temuan dari studi yang disimpulkan berdasarkan hasil temuan instrumen uji ditetapkan sebagai tentatif atau belum dapat dipastikan. Simpulan itu membuka jalan bagi studi lainnya untuk memverifikasi atau memfalsifikasi temuannya agar diterima atau ditolak. Tetapi selama studi terkait yang terbaru belum menyatakan penolakan maka temuan dari studi tadi dianggap berlaku dan diterima.
Sebagai contoh, penerapan gerakan 3 M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) merupakan tindakan paling efektif untuk menekan penyebaran virus Corona. Simpulan dari hasil studi tentang hal itu memang tidak bisa dipastikan. Dalam artian bahwa menerapkan 3 M pasti membuat kita bebas dari virus Corona.
Namun selama belum ada simpulan dari studi lain yang menawarkan temuan baru bahwa tindakan tertentu lebih efektif melawan virus Corona maka 3 M tetap berlaku dan mesti diterapkan. Meski sekiranya ada simpulan baru, taruhlah penggunaan vaksin, dianggap lebih berhasil dan efektif tetapi tidak menolak penerapan 3 M maka kedua simpulan tetap diterapkan.
Pada konteks itu, penalaran ilmiah seakan mengikuti kaidah yang menyebutkan bahwa simpulan dari hasil penelitian sekarang belum ada yang menolak sehingga (sementara waktu ini) simpulan itulah yang kita anggap benar. Pemberlakuan simpulan itu berguna untuk mengatasi masalah yang kita hadapi sekarang sambil mencari dan terus meneliti cara yang lebih efektif.
Penalaran dogmatis melalui pembuktian semu untuk menutupi kebodohan kita terhadap suatu masalah sedapat mungkin dihindari dan tidak disebar ke ruang publik. Masyarakat awam perlu pegangan yang jelas terutama ketika menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Bukan malah dibingungkan oleh perdebatan yang menyesatkan.
Betul bahwa mengenali kekeliruan suatu metode penalaran lebih mudah ketika metode itu digunakan oleh lawan debat kita. Tetapi dalam beberapa konteks tertentu, perdebatan sebaiknya dihindari jika tujuannya hanya ingin unjuk keelokan argumen. Menyerahkan tuntutan atas pembuktian (burden of proof) kepada pakar di bidangnya masing-masing adalah langkah bijak yang mesti didahulukan karena lebih berorientasi penyelesaian masalah (problem-solving).
Dengan saling memahami basis argumentasi masing-masing, kita belajar mengasah metode penalaran. Bapak Dialektika Kritis, Sokrates, menegaskan bahwa orang bijak berupaya mengakui keterbatasannya pada bidang yang memang tidak ia kuasai dengan mumpuni. Dengan begitu, ia menutup celah bagi ego untuk berkuasa atas nalar kritis.
Rujukan dan Bahan Bacaan Lanjut:
Sinnott-Armstrong, Walter. (2018). Think Again: How to Reason and Argue. Oxford University Press.
Tuzet, Giovanni. (2015). On the Absence of Evidence. 10.1007/978-3-319-16148-8_3. Dapat diakses secara terbuka di laman researchgate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H