Melemparkan perdebatan ke ruang publik atau membiarkan publik menyimpulkan sendiri hanya akan memperparah bias kognitif dari adu argumentasi itu. Masyarakat awam yang menyaksikan debat itu akan semakin bingung dan hanya menyisakan penalaran tanggung di benak mereka. Kondisi ini berkontribusi pada sikap keras kepala masyarakat terhadap anjuran Pemerintah meski pakar sudah dilibatkan.
Sekali lagi saya tegaskan, adu argumentasi bertujuan menyelesaikan masalah. Penalaran terbaik dengan metodologi ketat perlu mendapat prioritas tetapi yang paling penting untuk didahulukan adalah kebaikan bersama. Konteks memainkan peran penting dalam proses itu. Dalam penalaran logika informal, situasi tidak selalu dinilai hitam putih.
Proses persidangan, sebagai contoh, beban atas tuntutan pembuktian berada di pundak Jaksa Penuntut. Sebab kaidah dasar yang mesti dipahami oleh seluruh pihak yang terlibat di persidangan tersebut adalah terdakwa mesti dipandang tidak bersalah sampai ada bukti tetap yang menyatakan sebaliknya.
Kaidah itu memastikan harkat dan martabat penegakan hukum agar tidak semena-mena menjatuhkan tuduhan. Hukum memandang nyawa dan harga diri seseorang mesti dijamin hingga ada bukti meyakinkan yang menyatakan bahwa orang itu melanggar hukum sehingga harus mempertanggungjawabkan pelanggaran yang dibuatnya.
Keputusan Hakim untuk percaya bahwa terdakwa tidak bersalah meski telah tertangkap basah secara empiris keliru. Namun secara prosedural, keputusan itu dibenarkan sampai proses persidangan selesai dan putusan akhir ditetapkan berdasarkan bukti yang dihadirkan selama proses persidangan.
Konteks yang sama juga berlaku di bidang penalaran ilmiah. Temuan dari studi yang disimpulkan berdasarkan hasil temuan instrumen uji ditetapkan sebagai tentatif atau belum dapat dipastikan. Simpulan itu membuka jalan bagi studi lainnya untuk memverifikasi atau memfalsifikasi temuannya agar diterima atau ditolak. Tetapi selama studi terkait yang terbaru belum menyatakan penolakan maka temuan dari studi tadi dianggap berlaku dan diterima.
Sebagai contoh, penerapan gerakan 3 M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) merupakan tindakan paling efektif untuk menekan penyebaran virus Corona. Simpulan dari hasil studi tentang hal itu memang tidak bisa dipastikan. Dalam artian bahwa menerapkan 3 M pasti membuat kita bebas dari virus Corona.
Namun selama belum ada simpulan dari studi lain yang menawarkan temuan baru bahwa tindakan tertentu lebih efektif melawan virus Corona maka 3 M tetap berlaku dan mesti diterapkan. Meski sekiranya ada simpulan baru, taruhlah penggunaan vaksin, dianggap lebih berhasil dan efektif tetapi tidak menolak penerapan 3 M maka kedua simpulan tetap diterapkan.
Pada konteks itu, penalaran ilmiah seakan mengikuti kaidah yang menyebutkan bahwa simpulan dari hasil penelitian sekarang belum ada yang menolak sehingga (sementara waktu ini) simpulan itulah yang kita anggap benar. Pemberlakuan simpulan itu berguna untuk mengatasi masalah yang kita hadapi sekarang sambil mencari dan terus meneliti cara yang lebih efektif.
Penalaran dogmatis melalui pembuktian semu untuk menutupi kebodohan kita terhadap suatu masalah sedapat mungkin dihindari dan tidak disebar ke ruang publik. Masyarakat awam perlu pegangan yang jelas terutama ketika menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Bukan malah dibingungkan oleh perdebatan yang menyesatkan.
Betul bahwa mengenali kekeliruan suatu metode penalaran lebih mudah ketika metode itu digunakan oleh lawan debat kita. Tetapi dalam beberapa konteks tertentu, perdebatan sebaiknya dihindari jika tujuannya hanya ingin unjuk keelokan argumen. Menyerahkan tuntutan atas pembuktian (burden of proof) kepada pakar di bidangnya masing-masing adalah langkah bijak yang mesti didahulukan karena lebih berorientasi penyelesaian masalah (problem-solving).