Belanja paket data, upgrade perangkat ke seri atau model terbaru, hingga pemenuhan aksesoris sebagai bagian dari identitas pemakai kemudian masuk dalam kategori kebutuhan dasarnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, melampaui kebutuhannya akan pangan atau rasa aman.
FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan momen kebersamaan dengan kelompok sosialnya merupakan jenis kecemasan yang muncul akibat interaksi berlebihan di media sosial. Gangguan psikologis ini muncul akibat kebergantungan terhadap akibat final dari perangkat smartphone yang dipahami oleh pemiliknya sebagai satu-satunya moda yang menghubungkannya ke kehidupan sosial.
Demikian pula dengan harapan besar terhadap perangkat teknologis yang tidak dibarengi dengan kemampuan kritis pemiliknya. Sebab pemiliknya lebih percaya akan kemampuan perangkatnya ketimbang kemampuannya sendiri.Â
Ini merupakan salah satu aspek yang membuat proses E-Learning yang dulu digaungkan akan merevolusi interaksi kelas menjadi gagal total dalam implementasinya.
Bahkan e-book belum bisa menandingi buku yang sampai hari ini masih lebih laku dan diminati oleh sebab portabilitas dan dukungan perangkat yang ditawarkan e-book dianggap belum sebanding dengan energi yang dibutuhkan untuk menampilkannya.Â
Dalam kasus ini, kesederhanaan buku cetak dianggap merepresentasikan daur ulang dari siklus mutualis alam itu sendiri atau singkatnya; power saving.
Smartphone tidak lagi dipandang sebagai ekstensi dari tubuh yang mengatasi kekurangan tubuh itu sendiri. Lebih dari itu, pemilik smartphone bahkan memindahkan dirinya dengan menitipkan konsep diri beserta masing-masing karakternya ke perangkat tersebut.Â
Bahkan dari temuan studi psikologi mutakhir, pemilik smartphone yang perangkatnya jatuh atau hilang mengalami sensasi near death experience (panik menjelang kematian) akibat peristiwa itu.
Seperti kata Martin Heidegger tadi, teknologi modern seperti smartphone sangatlah membebani. Membebani akibat materialnya (karena ketergantungannya pada konsumsi energi) maupun akibat efisiensinya (di mana pemilik tidak lagi dapat memisahkan diri dari perangkatnya). Sifatnya monopolistik karena ia tidak menawarkan bentuk ekspresi diri pemilik selain mengemis pengakuan warganet lewat karakter yang tunjukkan di media sosial.
Selain itu, sifatnya juga menundukkan. Pemilik, setelah memiliki perangkat smartphone, tidak lagi mampu melepaskan diri dari kewajiban yang melekat padanya: isi paket data tiap bulan, update status di media sosial setiap saat, hingga transaksi jual beli online.Â
Perangkat ini anehnya menciptakan kebutuhan yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh manusia. Padahal, harusnya dengan hadirnya teknologi smartphone, kebutuhan manusia harusnya tercukupi seperti dengan hadirnya teknologi kacamata yang mengatasi masalah pandangan.