Smartphone merupakan perangkat yang tidak hanya menjembatani kita dengan jaringan yang terlampau luas untuk kita jangkau namun juga menyimpan beragam identitas yang kita siapkan untuk berganti secepat usapan jari jemari di layar perangkat.Â
Di postingan karya kreasi terkadang kita menjadi pribadi yang rendah hati namun di postingan media sosial kita bisa berubah menjadi pribadi temperamental terhadap opini yang berseberangan dengan sudut pandang kita. Karakter-karakter yang menjadi bagian dari serpihan konsep diri kita termanifestasikan pula dalam perangkat smartphone yang kita punya.
Sehingga bukan lagi akibat kebutuhan kita mengatasi peran-peran kita di dunia profesional maupun di dunia keseharian, smarphone sebagai perangkat teknologis justru kemudian menjadi alasan bagi kita untuk menciptakan, atau menyempurnakan, konsep smartphone yang menyesuaikan dengan identitas baru yang coba kita bangun.Â
Smarphone tidak lagi menjadi hasil akibat dari peristiwa sebelumnya namun menjadi akibat bagi peristiwa yang belum sepenuhnya terjadi.
Saat tujuan itu tidak tercapai karena fungsi smartphone tidak sesuai, atau tidak kita ketahui potensinya, maka kekecewaan yang muncul sangatlah mendalam.
Mengapa demikian? Sebab kita memandang smartphone sebagai perangkat teknologis yang punya 'simpanan potensial' yang setiap saat harus menyediakan stok persediaan bagi kebutuhan psikologis kita. Kita ingin bersosialisasi di media sosial dan smartphone menyanggupi itu. Namun, kita ingin lebih, identitas pribadi yang kita tampilkan di media sosial harus mendapat pengakuan dari warganet lainnya. Ini yang di luar kuasa smartphone.
Akibatnya, bullying di media sosial dampaknya sangat mendalam sebab pribadi yang menjadi korban menganggap bahwa ketika internet menolak tawaran identitasnya itu berarti seluruh orang di dunia nyata juga menolak dirinya. Padahal tidak demikian, hanya sudut pandangnya saja yang dibatasi oleh pemaknaannya terhadap pemanfaatan smartphone tersebut.
Dari sudut pandang kebergantungan, pemilik smartphone tampaknya cenderung memosisikan diri pada penerima akibat bukannya sebagai pemicu akibat.Â
Sehingga konsep dirinyalah yang didefinisikan oleh smartphone alih-alih dirinya yang seharusnya mendefinisikan smartphone sebagai saru dari sekian banyak perangkat teknologis yang memudahkannya dalam mengatasi masalah teknis.