Demikianlah teknologi, kreasi dalam menemukan suatu cara untuk mengatasi suatu masalah dan berkembang bentuk serta ukurannya sejalan dengan kebutuhan yang terus menerus beragam sesuai permintaan penggunanya.
Lalu, mengapa teknologi yang dibuat untuk memudahkan justru malah menimbulkan kecemasan?
Heidegger menjawab dengan alasan bahwa teknologi modern sangat membebani. Hal itu disebabkan oleh kreasi pemanfaatannya bersifat monopolistik dan cenderung menundukkan. Hal itu tentu berbahaya. Sebab konversi dari bahan dasar, terutama yang diekstrak dari alam, tidak lagi didasari oleh pertimbangan mutualisme antar makhluk namun menjurus pada maksud menguasai dengan menimbun.
Dulunya, teknologi memanfaatkan sumber daya dari alam lalu mendaurnya ke bentuk energi lainnya tanpa mengurangi sumber energi asal sama sekali. Bisa dikatakan bahwa kreasi pemanfaatan teknologi itu adalah bagian dari pelestarian alam itu sendiri. Teknologi kincir angin di masa lalu memanfaatkan angin yang berembus lalu mengonversinya ke energi gerak yang menjalankan mesin.
Teknologi modern tidak demikian. Sumber daya alam cenderung dikeruk dan dihabisi tanpa ada solusi untuk pelestarian serta pencarian alternatif. Energi yang diekstrak dari alam hanya ditimbun dan terus digunakan tanpa ada proses kreasi daur ulang. Lihat saja minyak bumi, batu bara, hingga kayu dari hutan terus dihabisi untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang tidak kreatif dari manusia itu sendiri.
Sudut pandang pemanfaatan teknologi dari mazhab ini begitu sesat. Teknologi ini memandang bumi sebagai penyedia bahan dasar uranium, langit sebagai penyedia nitrogen, sungai sebagai penyedia listrik tenaga air, hingga sawah dan kebun petani sebagai penyedia pangan yang bisa dibeli dengan harga murah begitupun dengan kawasan konservasi sebagai destinasi wisata.
Teknologi modern memaksa dunia untuk menampakkan sumber daya yang bisa ia tawarkan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi. Semua sumber daya mesti disediakan dengan segera, selalu bisa dipesan setiap saat, untuk segera diolah lalu didistribusikan dalam siklus penawaran dan permintaan. Heidegger menyebutnya sebagai 'simpanan potensial' di mana warisan masa lalu baik dari bumi maupun dari peradaban manusia tidak lebih dari sekadar stok persediaan yang bisa dipesan kapan saja.
Parahnya, sudut pandang ini juga menyesatkan cara kita mengonsumsi sumber daya lewat pemanfaatan teknologi. Lihat saja ketika kita dilanda listrik padam atau kelangkaan BBM. Negara akan menghadapi kondisi siaga satu yang bisa memicu pemberontakan publik sebab mereka tidak bisa melakukan sesuatu tanpa adanya energi yang biasanya disediakan oleh sumber-sumber tersebut.
Sudut pandang ini benar-benar menjebak dan memerangkap alam dalam fungsinya hanya sekadar daya koheren yang selalu bisa diukur dan dihitung untuk kepentingan menopang aktivitas manusia.
Untungnya, penyakit mental yang disebabkan oleh sudut pandang ini masih dapat dinetralisir dengan mengambil jarak untuk berkontemplasi akan relasi kita dengan pemanfaatan teknologi dan perangkat teknologis sebelum hal-hal itu memperbudak kita dalam belenggu konsumerisme.Â