Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Moral dan Etika, Ada Tanggung Jawab Institusi Pendidikan di Sana!

6 November 2019   19:25 Diperbarui: 7 November 2019   16:28 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bekerja. [sumber: unsplash.com/Chris Curry @chris_curry]

Tulisan ini merupakan hasil dari diskusi panjang bersama rekan Mahasiswi a.n. Ainun Rahman. Semoga bacaan di diskusi berikutnya lebih kaya sehingga hasil diskusinya juga semakin komprehensif.

Sekolah dan Kampus merupakan institusi sakral yang sampai hari ini kepercayaan penuh terhadapnya masih dipegang teguh oleh masyarakat luas. Keduanya merupakan gerbang peradaban di mana nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ditanamkan kepada generasi selanjutnya agar warisan peradaban masyarakat tersebut bisa bertahan.

Secara umum, masyarakat menilai kemajuan suatu bangsa dari kualitas institusi pendidikan di garda depan yaitu sekolah dan kampus. Landasan utama pendidikan yang dilaksanakan di institusi tersebut adalah membentuk suatu karakter siswa(i) atau mahasiswa(i) yang terdidik dan berpengetahuan.

Sayangnya, Sekolah dan Kampus cenderung melaksanakan pendidikan dengan mengandalkan pengetahuan dan pemahaman. Sehingga pendidikan identik dengan aspek kognitif dengan kapasitas intelektual sebagai tolak ukurnya.

Aspek emosional hingga perilaku kurang mendapat perhatian. Kedua aspek itu memang dirumuskan dalam kurikulum namun samar dalam penerapan dan tindakan.

Lihat saja instrumen evaluasi hasil belajar yang hanya menyuburkan aspek kognitif dan sama sekali tidak menyentuh aspek emosional atau perilaku. Interaksi belajar mengajar pun hanya didefinisikan oleh ruang kelas. 

Padahal, tegur sapa, tutur kata, hingga tabiat yang ditunjukkan oleh baik pendidik maupun peserta didik di lingkungan sekolah dapat menjadi saran dan media penanaman aspek-aspek pendidikan lainnya.

Lalu, bukankah Sekolah dan Kampus sudah selayaknya membentuk peserta didik yang bermoral dan beretika? Rumusan itu jangan disalah artikan menjadi sekadar konseptual di mana peran sekolah dan kampus memang memastikan peserta didik memahami konsep tentang moralitas. Rumusan pertanyaan ini menjadi penting agar tujuan dari diskusi ini menemui maksudnya.

Institusi Pendidikan dan Rekayasa Perilaku Bermoral

Konsep tentang moralitas dan etika jelas diajarkan di sekolah hingga perguruan tinggi. Namun yang menjadi soalan adalah perlukah sekolah dan kampus mengatur sekaligus membentuk watak, perasaan, tabiat, hingga pola berperilaku peseta didik yang sesuai dengan standar moral tertentu? Untuk membahas ini secara mendalam, perlu kiranya Michael Hand diseret ke dalam diskusi ini.

Profesor filsafat pendidikan di Universitas Birmingham ini pernah mengajukan pertanyaan yang sama. Sehingga, dalam konteks pendidikan moral dan etika di institusi pendidikan, ia mulai bahasannya dengan membedakan antara konsep moral dan perilaku bermoral. Baginya, konsep moral menyangkut pembahasan rasional mengenai asal muasal, muatan, hingga pertimbangan mengenai standar moralitas tertentu.

Konsep moral ini pun sebenarnya tidak mendapat alokasi cukup di kurikulum. Biasanya, konsep moral hanya dibahas di mata pelajaran atau mata kuliah tertentu seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau Aqidah-Akhlaq. 

Minimnya diskusi yang menyinggung perbandingan hingga landasan filosofis tiap-tiap standar moral yang ada membuat bahasan konsep moral di institusi pendidikan cenderung mengarah ke indoktrinasi.

Di sisi lain, perilaku bermoral menyangkut penanaman dan pendalaman watak, perasaan, hingga tabiat pada peserta didik dengan tujuan untuk membentuk pola perilaku yang sesuai dengan standar moral tertentu. Tugas ini sangat berat hingga, di Indonesia, biasanya hanya sekolah asrama seperti Pondok Pesantren yang menyanggupinya.

ilustrasi bekerja. [sumber: unsplash.com/Chris Curry @chris_curry]
ilustrasi bekerja. [sumber: unsplash.com/Chris Curry @chris_curry]
Rekayasa perilaku bermoral menurut standar moral tertentu sulit diterapkan di lingkungan sekolah atau kampus di Indonesia karena beragamnya kompetensi yang mesti pula didalami oleh peserta didik. 

Terlebih, beragam kompetensi itu hanya menyasar aspek kognitif dengan ukuran tingkat intelektual peserta didik. Apalagi jika melibatkan intervensi fisik, tugas ini menjadi semakin sulit.

Guru yang ditikam oleh siswanya sendiri beberapa waktu lalu karena diberi teguran untuk tidak merokok di area sekolah menjadi salah satu di antara banyak contoh konsekuensi yang mesti diantisipasi guru ketika menerapkan rekayasa perilaku bermoral dan beretika di lingkungan sekolah. 

Lagipula, jika standar moral suatu bangsa yang ingin ditanamkan ke generasi berikutnya, bukankah institusi lain penopang sebuah peradaban juga mesti mendukung sekolah dan kampus menjalankan tugasnya?

Institusi budaya seperti keluarga dan masyarakat adat hingga hingga institusi hukum seperti kepolisian juga turut bertanggungjawab mengawal penanaman nilai-nilai moralitas suatu bangsa karena institusi-institusi itu pulalah yang membentuk nilai-nilai moralitas yang berlaku secara definitif. 

Terutama konsep nilai yang ditawarkan institusi politik seperti partai atau institusi agama seperti tokoh serta pemuka agama. 

Sehingga perlu dipahami bahwa meletakkan tanggungjawab penuh program rekayasa perilaku bermoral bagi peserta didik ke pundak Guru dan Dosen dan tidak ikut berkontribusi dalam hal itu merupakan suatu bentuk sesat pikir yang dampaknya akan merugikan peradaban bangsa itu sendiri.

Sebab program rekayasa perilaku berada pada tahapan sosialisasi peserta didik itu di lingkungannya masing-masing.

Pendidikan dan Kesadaran Mandiri untuk Terdidik
Pendidikan membekali peserta didik untuk mampu memahami peran dari eksistensinya sehingga pengetahuan dan ilmu menjadi basis.

Kedua hal itu memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan daya kreasi. Selain itu, peserta didik juga mampu memahami potensi yang dimilikinya untuk mengembangkan sekaligus mengekspresikan diri mereka.

Ekspresi dan kreasi merupakan bentuk kontribusi peserta didik terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, mereka perlu memahami bahwa kontribusi itu juga melekat tanggungjawab padanya. 

Karena ditujukan untuk kepentingan umum, peserta didik mesti menyadari bahwa kontribusi tidak hanya diberikan namun juga disesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan sekitarnya.

Di sinilah peran perilaku bermoral dibutuhkan. Kontribusi tentu punya manfaat namun tidak menutup kemungkinan juga punya mudarat. Karena sudah merupakan keniscayaan, kontribusi harus melibatkan dialog antara peserta didik dengan lingkungannya. Mereka tidak dapat menimbang suatu manfaat tanpa melibatkan masyarakatnya.

John Stuart Mill mengingatkan bahwa seseorang yang menimbang suatu kebaikan menurut sudut pandangnya sendiri pada hakikatnya tidak mengerti sama sekali terhadap apa yang sedang ia pertimbangkan. 

Peserta didik mesti dibekali kompetensi untuk melebur dengan lingkungannya dan menebar kebaikan bukan sekadar menguraikan alasan dari kebaikan yang mereka maksud.

Menjadi insan terdidik membuat peserta didik suka tidak suka mesti memberikan kontribusi. Itu kewajiban yang melekat dengan pasti. Berdiam diri di tengah gejolak arus dinamika lingkungan justru membuat peserta didik mencederai masyarakatnya. Seperti yang disebut oleh Bapak Republik ini, Tan Malaka, lebih baik peserta didik itu tidak usah mengenyam pendidikan.

Namun kontribusi itu, yang berlandas niatan baik, mesti dikonversi ke nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Konversi itu melibatkan watak, perasaan, hingga tabiat yang terangkum dalam kode-kode moral. 

Berjalan melintas di hadapan orang yang lebih tua, misalnya dalam masyarakat Bugis, nilai kesopanan diwujudkan ke dalam kode moral seperti sikap Mappatabe' yang bermaksud memohon permisi.

Selain kesadaran mandiri, intervensi disiplin juga penting diberikan agar pola perilaku anak terprogram dengan terukur. Melalui sikap disiplin, moralitas akan tertanam pada anak dan akan terbiasa bertindak berdasarkan pertimbangan standar moral tertentu sehingga dapat menerima dan diterima oleh masyarakat.

Konversi kode moral yang berlaku di masyarakat ini, bagi Elizabeth Hurlock, tidak hanya melalui pembacaan kritis peserta didik namun juga perlu intervensi dari Orang tua, Tokoh Agama dan Masyarakat, Guru, Dosen, hingga Pemerintah. Kode-kode mengatur hampir seluruh bentuk interaksi masyarakat dalam sebuah kebudayaan. 

Nah, ketika bertemu dengan ekspresi dan kreasi diri yang sifatnya personal atau kebudayaan lainnya maka tentu pertemuan itu akan melahirkan beberapa bentuk penyesuaian.

Penyesuaian ini terutama terlihat dalam aspek berperilaku. Sehingga kesadaran yang dibutuhkan peserta didik ketika menemui hal tersebut muncul dari nilai-nilai moral yang sudah terprogram baik dalam dirinya. Kesadaran ini timbul akibat keterbukaan peserta didik terhadap pertimbangan nurani yang secara jujur ia ekspresikan.

Kejujuran ini melandasi sikap dan perilaku peserta didik yang, meski dengan pertimbangan rumit dari pikiran rasionalnya, tetap memegang kendali dalam menentukan putusan. Dengan demikian, peserta didik tidak perlu memusingkan standar penilaian yang orang berikan sehingga pujian maupun cemoohan tidak relevan dalam pertimbangannya.

Perilaku mencontek hasil kerja atau karya orang lain dalam situasi tes formatif tidak dapat dikoreksi bila itu hanya menargetkan item-item yang diberikan. Evaluasi belajar yang hanya memberi nilai pada item tes tidak dapat menyinggung perilaku mencontek karena perilaku itu tidak masuk dalam kategori penilaian.

Lagipula, perilaku seperti itu tidak dapat dinilai dengan segera meski teguran atau intervensi lainnya diberikan secara langsung. Sebab tentu perlu kita pahami bahwa penanaman nilai tidak akan dituai di hari yang sama. Peserta didik perlu meninjau nilai-nilai moral itu dalam pengalaman yang ia lalui sendiri.

Perilaku mencontek menggambarkan kegagalan kita memercayakan tanggungjawab kepada masing-masing peserta didik terhadap proses pendidikan mereka sendiri. Toh, kita terkadang bersikap paling atau malah sok tahu terhadap apa yang seharusnya diberikan kepada dan dijalani oleh peserta didik.

John Locke sudah memperingatkan kecerobohan yang dianggap wajar ini agar kita tidak gegabah dalam memperlakukan peserta didik kita. Mereka mungkin sedang berusaha meneladani kita namun tidak menemukan apa yang mereka cari dari diri kita. Mereka cari hal itu ke diri orang tua, pendidik, hingga ke pejabat publik.

Soalannya adalah jika mereka tidak menemukan teladan itu maka kekecewaan akibat ketidaksesuaian harapan antara yang dimiliki oleh peserta didik dan siapapun yang menaruh harapan di pundak mereka mesti kita tanggung secara bersama. Jika rekayasa perilaku bermoral peserta didik ingin diwujudkan maka lingkungan mesti diatur untuk mendukung program tersebut.

Orang tua, pendidik, tokoh agama, tokoh masyarakat, masyarakat sekitar hingga pemerintah perlu merekayasa perilaku bermoralnya sendiri terlebih dahulu sekaligus menangani secara bersama masalah penanaman konsep moral dan rekayasa perilaku bermoral. Tidak perlu saling menyalahkan dan melempar tanggungjawab sebab dampak dari degradasi moral akan dirasakan bersama.

Peserta didik mesti menciptakan ruang belajarnya sendiri melampaui ruang kelasnya | Dok. Pribadi
Peserta didik mesti menciptakan ruang belajarnya sendiri melampaui ruang kelasnya | Dok. Pribadi

Lalu, Sekolah dan Kampus itu apa gunanya?

Pendidikan mengandaikan sebuah program holistik yang juga komprehensif pada saat bersamaan. Oleh sebab itu, pendidikan tidak terpaku pada aspek intelektual. 

Sekolah dan Kampus tidak hanya menuntun peserta didik tentang apa yang mesti dipikirkan dan bagaimana cara berpikir namun juga menuntun mereka tentang apa yang mesti dibutuhkan, dirasakan, dilakukan, hingga ingin jadi apa di kemudian hari dan bagaimana cara mewujudkan hal-hal tersebut.

Dengan kompleksitas kurikulum dan tuntutan terhadap Sekolah dan Kampus hari ini, sulit untuk menampik fakta bahwa institusi pendidikan itu perannya jauh melampaui institusi sosial seperti keluarga. Guru dan Dosen berlaku sebagai orang tua yang bahkan pengaruh dan tanggungjawabnya sampai ke rumah.

Masyarakat menuntut Sekolah dan Kampus untuk sukses merekayasa perilaku peserta didik menjadi bermoral. Persoalannya, konsepsi masyarakat itu sendiri dan didukung penuh oleh pembuat kebijakan di bidang pendidikan, yang tidak melakukan Sekolah dan Kampus melaksanakan tugas tersebut. Konsepsi itu kita sebut sebagai Ruang Kelas.

Bagi orang tua dan masyarakat, bersekolah atau ngampus adalah menghadirkan raga peserta didik di ruang kelas. Mereka disebut tidak belajar ketika berada di komunitas minatnya, di museum, di diskusi ruang terbuka, atau bahkan saat peserta didik itu turun ke jalan menyuarakan aspirasi politiknya sebagai partisipan demokratis.

Padahal, seperti ruang lainnya di mana peserta didik mampu memaknai keberadaannya di tengah lingkungan dan aktif melakukan pembacaan atasnya, Sekolah dan Kampus adalah rumah. Demikian halnya dengan Rumah Ibadah, Gedung Pemerintahan, Fasilitas Publik, di mana pun peserta didik itu berada maka itu adalah Rumah.

Konsepsi Rumah sebagai tawaran solusi terhadap konsepsi Ruang Kelas dilandasi oleh simpulan bahwa peserta didik bebas melakukan aktivitas belajar dan dituntun oleh lingkungan di mana ia sedang berada untuk memaksimalkan pembenahan dan pengembangan diri. 

Graham Haydon dalam Teaching About Values: A New Approach menyiratkan bahwa jika Sekolah adalah ruang maka ruang itu tidak dikatakan terisi dengan hanya memuat kapasitas kognitif. Bahkan, menurut Paulo Freire, pendidikan itulah yang justru menjadi bekal bagi peserta didik untuk menciptakan ruang kreasi di lingkungannya.

Sebab selayaknya Ruang lain di mana peserta didik berada, Sekolah dan Kampus memuat instruksi formal mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Demikian pula dengan Rumah Ibadah, Fasilitas Publik, hingga Ruang pribadi. Namun di ruang itu pasti terjadi interaksi sosial di mana hubungan antar sesama terbangun dan terjalin.

Ada persahabatan yang terjalin dan terputus, konflik yang muncul dan diselesaikan, pencapaian yang dirayakan, hingga musibah yang ditangisi bersama-sama. Di ruang-ruang itu, kerjasama dan seteru, pemaksaan dan pemberontakan, serta kebaikan dan keburukan mewarnai relasi antar peserta didik dan mendapat panggungnya.

Mentalitas peserta didik dibentuk dalam nuansa yang menuntut resolusi gejolak batinnya dalam setiap peristiwa yang ia temui di ruang-ruang itu. Guru dan Dosen hadir sebagai wadah peserta didik mencurahkan pikiran dan perasaannya, meminta penjelasan lanjut dan saran, memohon  petunjuk dan hikmah yang menjadi pertimbangan peserta didik itu untuk memutuskan simpulan-simpulannya.

Guru dan Dosen, sekali lagi, punya daya peran yang melampaui profesinya. Orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat, sahabat, rekan sejawat, hingga psikolog.

Sehingga bukan hanya punya kemampuan membentuk pola perilaku bermoral, Guru dan Dosen juga mampu menerapkan intervensi disiplin terhadap penanaman konsep, nilai, watak, rasa, dan tabiat pada standar moral tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun