Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kekaguman dan Kebutuhan untuk Dikagumi, Memahami Konsep dan Batasan Diri

3 November 2019   21:23 Diperbarui: 4 November 2019   11:27 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beragam tanggapan itu tentu akan kembali ke diri pengunggah konten itu sendiri. Pertanyaannya, apakah mereka siap menghadapi beragam tanggapan tersebut?
Banyak kasus demikian yang justru melahirkan bullying dan depresi.

Ketika ekspektasi tidak lagi dapat dipenuhi, ditambah gejolak batin yang dipicu pertentangan konsep diri yang saling tumpang tindih di pikiran seseorang, ekspresi berlebihan di media sosial hanya akan memberi dampak buruk terhadap kondisi kejiwaan seseorang. 

Berupaya menyenangkan orang lain dengan penampilan semu dan melupakan upaya pengembangan diri sendiri merupakan awal dari runtuhnya bangunan kepercayaan diri.

Bullying bukan masalah yang remeh. Bentuknya yang semakin beragam baik di kehidupan sehari-hari hingga di dunia virtual telah merenggut banyak korban.

Bahkan banyak pesohor yang bangunan konsep dirinya hancur karena tidak mampu mengelola kesan kekaguman yang coba diekspresikannya. Sehingga, konsep yang hilang arah itu menemui muaranya di kehidupan malam, penyalahgunaan narkoba, hingga bunuh diri.

Post-Note
Kekaguman dan kebutuhan untuk dikagumi merupakan fenomena yang melibatkan proses pembangunan konsep diri subjek dalam menanggapi lingkungan sekitarnya. 

Nuansa ini bukan hanya melahirkan ketakjuban namun juga punya potensi menggerogoti kepercayaan diri seseorang. Kekaguman mampu membawa perubahan signifikan dalam pemaknaan hidup bagi seseorang. Sehingga pribadi itu dapat menyesuaikan konsep diri dan tujuan hidupnya.

Kekaguman pun mengindikasikan bahwa diri ini mengakui adanya sesuatu yang lebih besar dan lebih agung di luar sana. Selama puja dan puji masih terucap dari mulut seseorang, kekaguman itu akan bersemayam dalam pikirannya. Itu tidak mesti ditanggapi dengan negatif. 

Justru, dengan mengakui kelemahan diri kita bisa memaknai peran diri ini di tengah-tengah komunitas masyarakat maupun lingkungan sekitar.

Bagi seorang Muslim(ah), afirmasi terhadap rasa kagum tertuju hanya bagi Dzat yang hanya mampu dikagumi namun tidak mengagumi. Segala puja dan puji hanya bagi Allah SWT; pencipta, penjaga, dan penjamin seluruh alam beserta isinya (Q.S. 1:2). 

Seperti yang dipahami oleh Immanuel Kant bahwa kekaguman dan pujian hanya lahir dari nalar sehat yang mengakui batasan dirinya di depan sesuatu yang lebih besar dan lebih agung. Yang Maha Agung tidak dapat mengagumi karena tak satu pun yang lebih agung dariNYA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun