The Death of Expertise merupakan karya Tom Nichols yang lahir dari kegelisahannya terhadap nilai-nilai kepakaran yang semakin memudar. Masalahnya, bersama dengan itu menjamur pula pakar-pakar palsu yang leluasa menyebar konten yang belum melalui pengujian memadai. Tentunya hal itu berakibat fatal terhadap kemampuan literasi masyarakat awam.
Saya menulis ulasan interpretatif ini untuk membagi pengalaman baca buku yang baru saya beli dua hari yang lalu ini. Sebab kesan pertama yang muncul setelah membacanya adalah bahwa ide dan gagasan yang ada di dalamnya perlu diketahui semua orang. Terutama tenaga pendidik seperti saya dan mahasiswa(i) yang sedang berupaya keras membentuk jati diri pakar pada diri mereka masing-masing.
Ulasan ini adalah bagian pertama yang fokus pada topik fenomena permusuhan terhadap nilai-nilai kepakaran yang digaungkan masyarakat awam dengan berbekal akses luas ke informasi. Selain itu juga secara khusus menyinggung relasi dilematis Dosen-Mahasiswa(i) yang, dalam situasi institusi Perguruan Tinggi yang semakin komersil, turut menyumbang terhadap runtuhnya nilai-nilai kepakaran. Selamat menikmati!
Relasi Dilematis Pakar-Awam
Kebodohan itu dimulai dari sikap masa bodoh. Di masa ini, semua orang bisa mengakses informasi dengan bebas namun tidak tertarik untuk mempelajari informasi itu secara mendalam.Â
Masyarakat awam bukan hanya menafikan aturan dasar bahwa setiap pernyataan menuntut pembuktian namun mereka juga enggan merapikan argumen secara logis. Hal ini mengaburkan batasan antara pakar dengan awam; yang betul-betul paham dengan yang sok paham.
Sikap masa bodoh itu tentu mengancam tradisi yang bersusah payah dibangun selama berabad-abad yaitu mengakumulasi warisan pengetahuan dari para pendahulu sekaligus mematikan semangat kita untuk mengembangkan pengetahuan baru. Mereka yang ahli di bidangnya dan menghabiskan puluhan tahun memapankan keahliannya justru ditantang oleh mereka yang hanya bermodal mengetikkan kata kunci di mesin pencari semisal Google atau Wikipedia.
Pengakuan keahlian para pakar disudutkan ke wilayah teknis di mana secara praktis kemampuan mereka dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Kita masih menemui Dokter Gigi untuk cabut gigi bukannya minta tolong ke Tukang Tambal Ban serta menghubungi Polisi ketika melihat tindak kejahatan alih-alih memprovokasi massa untuk mengadili pelaku kejahatan. Kita percaya bahwa profesionalitas mereka akan mengatasi masalah-masalah itu dan kita anggap itu sudah selayaknya.
Namun di wilayah opini, pendapat mereka justru terkadang tidak dihiraukan sama sekali bahkan ketika itu menyangkut bidang keahlian mereka sendiri. Terkadang, para pakar itu harus rela mengalah dalam debat kusir bersama mereka yang merasa mampu menunjukkan fakta hanya dari smartphone mereka.Â
Parahnya, para pakar itu juga menarik diri dari diskusi publik dan sibuk menciptakan istilah serta jargon yang hanya dimengerti oleh kalangan mereka sendiri.
Akibatnya, jurang yang memisahkan para pakar dan para awam semakin lebar sehingga sepertinya komunikasi sulit mereka bangun. Padahal, internet dan media sosial justru sering mempertemukan mereka bahkan tanpa mereka sadari.Â
Jadi, internet dan media sosial bukanlah biangnya. Semua kembali ke pribadi masing-masing. Kemudahan yang diberikan teknologi membuat kita semakin malas dan terus bergantung pada alat yang kita ciptakan sendiri.
Bagi Tom Nichols, mungkin hilangnya keistimewaan para pakar menandai sebuah progres kemajuan peradaban kita. Akses terhadap pengetahuan tidak lagi dikuasai oleh sekelompok orang tertentu.Â
Selain itu, partisipasi publik semakin meningkat dan ruang diskusi semakin beragam. Itu berarti sekat ras, kelas, jenis kelamin, dan kepercayaan tidak lagi menjadi masalah. Namun faktanya, semua hal itu berbanding terbalik dari apa yang kita temui. Pertanyaannya, apa yang salah?
Factoid, Sirkulasi Informasi, dan Kepakaran
Pada bagian pertama The Death of Expertise, Tom Nichols menyebut Factoid (hoaks yang disalahartikan sebagai fakta) sebagai biang perselisihan antara para pakar dengan masyarakat awam.Â
Hak mengemukakan pendapat di ruang publik tidak dibarengi keterbukaan untuk menerima pendapat orang lain. Sikap kontradiktif itu disebabkan kondisi psikologis masyarakat awam yang cenderung tertarik dan memercayai pendapat yang hanya sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.
Sebaliknya, para pakar yang mendedikasikan waktunya untuk memapankan bidang keahliannya justru cenderung menganggap orang lain juga tertarik pada bidang itu. Mereka juga menganggap bahwa orang lain punya level pemahaman yang kurang lebih sama terkait bidang keahliannya.Â
Sayangnya, masyarakat awam tidak punya anggapan positif seperti itu. Satu kesalahan yang dilakukan para pakar cukup untuk meruntuhkan seluruh reputasi dan kepercayaan mereka di mata publik.
Kurangnya penelusuran terhadap sebuah informasi secara utuh dan berimbang hanya akan mengalihkan perhatian ke hal-hal yang justru sama sekali tidak berhubungan dengan hal yang sedang dibicarakan.Â
Sebab fokus perhatian itu tidak lagi menyasar tema diskusi; semua orang hanya ingin membuktikan diri sebagai yang paling benar. Malah sampai menyeret jabatan dan kewenangan hanya untuk didengar dan juga untuk membenarkan apa yang mereka sampaikan.
Kritik lalu dianggap ujaran kebencian. Investigasi kasus dianggap sebagai upaya makar yang bisa merusak tatanan. Tidak setuju dianggap melecehkan dan tidak menghormati.Â
Para pakar kehilangan relevansi otoritatifnya dalam mengemukakan pendapat. Padahal, masukan mereka merupakan sumbangan yang sangat dibutuhkan untuk mengawasi informasi liar yang beredar. Sehingga, mestinya para pakar tidak membatasi diri di ruang publik.
Campur tangan para pakar akan sangat berguna menyisihkan para pemberi informasi palsu. Masyarakat juga akan terbiasa untuk mengenali dan mengandalkan keahlian berdasarkan perpaduan pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan lembaga otoritas atau rekan sejawat yang dimiliki oleh para ahli di bidangnya masing-masing. Selain itu, masyarakat mesti memahami bahwa ahli di suatu bidang tidak serta merta ahli di bidang yang lain.
Hanya karena seorang pakar yang ahli dan punya nama besar di bidang Fisika tidak berarti bahwa dia mumpuni di bidang Politik. Demikian juga pakar di bidang Filsafat tidak menjamin dirinya menjadi seorang Pemimpin yang baik pada sebuah negara. Para pakar juga bukanlah figur yang sempurna.Â
Mereka adalah orang-orang yang sering bertemu dan melakukan kesalahan. Namun, mereka mampu belajar banyak dari kesalahan itu serta mengembangkan diri lalu membangun metode agar orang lain terhindar dari kesalahan yang sama.
Komunitas dan lembaga penjamin standar kualitas kepakaran punya peran besar mengemban amanah kepercayaan publik. Evaluasi dan sertifikasi tetap dibutuhkan selama kedua hal itu tidak justru disalahgunakan untuk mengintervensi kreativitas dan pengembangan keilmuan.Â
Yang paling penting, jangan sampai komunitas pakar atau lembaga penjamin mutu itu justru memperjualkan sertifikat sebab hal itu sama saja dengan memperjualbelikan harkat dan martabat profesi.
Kepakaran bukanlah gelar yang diperoleh dengan mudah. Bertahun-tahun dilalui untuk menempuh pendidikan dan melakukan riset mesti dihadapi dengan sabar. Belum lagi harga yang mesti dibayar untuk meminimalisir potensi kesalahan dan kerusakan yang dampaknya bisa fatal. Tidak semua orang bisa menjadi pakar karena tidak semua oramg mau mendedikasikan hidupnya untuk mendalami keahlian tertentu.
Tidak semua orang diberi anugerah untuk bisa menguasai suatu bidang. Mereka yang berbakat atau punya pengalaman mungkin percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya namun pakar yang sebenarnya mampu memahami secara mendalam bagaimana suatu kemampuan diterapkan pada konteks atau situasi tertentu karena ia punya setumpuk data dan informasi yang sebelumnya didokumentasikan terkait hal tersebut. Pakar tidak hanya menguasai namun juga mampu menjabarkan dan mengembangkan keahliannya.
Nah, narasi itu yang tidak dipahami dengan baik oleh industri media, jurnalisme, dan hiburan terutama berupa infotainment atau pewartaan. Umumnya industri di bidang itu hanya mengandalkan popularitas dan mengabaikan sisi edukatifnya.Â
Orang yang banyak membaca dan mengerti banyak hal dari bahan bacaan itu tidak serta merta dapat dianggap sebagai pakar. Demikian pula ajang pencarian bakat seperti audisi penyanyi atau koki akan mampu secara instan melahirkan pakar di bidang-bidang itu.
Tidak semua narasumber yang wajahnya populer di berbagai media adalah pakar yang sebenarnya. Terlebih jika ia membahas banyak hal dan lintas bidang. Perlu dipahami bahwa figur-figur populer itu hanya menyampaikan opini atau pandangannya sebatas apa yang ia ketahui dan pahami. Itu saja. Tidak berarti apa yang disampaikannya benar dan mesti kita dengarkan apalagi kita percayai.
Banyak pula novel atau film yang menceritakan seseorang yang cerdas namun mampu mengalahkan para pakar yang mewakili perusahaan, universitas, atau pemerintah. Atau Siswa(i) dan Mahasiswa(i) yang menantang debat Guru dan dosennya. Semuanya hanya karena bermodal bahan bacaan; setumpuk buku yang sudah dibacanya.Â
Percayalah, buku memang merupakan kunci pengetahuan dan peradaban namun untuk menghadapi seorang pakar, tumpukan bacaan itu hanya sebuah syarat di antara berbagai macam syarat lainnya.
Para pakar dan masyarakat awam sulit menjalin komunikasi efektif karena mereka semua adalah manusia yang rentan berbuat salah. Para pakar kadang terjerumus pada pola pikir yang konyol sementara masyarakat awam tidak memahami batas kemampuan intelektual mereka.Â
Baik pakar maupun awam bisa terjebak dalam perangkap yang sama; hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar dan mengingkari fakta dari hal yang mereka tidak sukai.
Bias Konfirmasi, Simplifikasi, dan Komersialisasi: Kecongkakan Para Intelektual Pemula
Bias konfirmasi ketika menanggapi sebuah informasi merupakan fenomena psikologis umum yang jarang disadari. Orang cenderung membenarkan sesuatu yang sesuai dengan asumsi dan kepercayaan mereka.Â
Sehingga hanya menerima data yang mendukung pendapat yang diyakini benar lalu menolak mentah-mentah data pembandingnya. Perhatian ditujukan hanya ke hal yang mengonfirmasi prasangka atau yang memberikan dukungan saja.
Dalam kondisi ekstrim, hal itu bisa menuntun pada fenomena Dunning-Kruger yang ditemukan oleh David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University. Fenomena itu menyebutkan bahwa semakin bodoh seseorang maka semakin yakin dia bahwa dia tidak bodoh.Â
Sehingga orang itu akan semakin banyak bicara dan cenderung berteriak-teriak atau mencela ketika berbicara. Hal itu ia lakukan untuk menutupi ketidaktahuannya terhadap apa yang ia bicarakan.
Orang itu tidak lagi mampu berpikir jernih dan terus berusaha mengalihkan perhatian agar orang lain tidak menyadari kebodohannya. Orang yang senang sesumbar mengomentari sesuatu dan sibuk menyerang orang lain lambat laun akan kehilangan jati dirinya.Â
Ketidakmampuannya menata argumen secara logis membuat mereka sulit menyimpulkan hasil pikirannya. Sehingga mereka bukan hanya rentan salah tapi juga gagal menyadari kesalahan yang dibuatnya.
Kecenderungan itulah yang membuat para pakar semakin berhati-hati dalam menentukan simpulan. Terkadang, mereka harus mengonfirmasi simpulan mereka dengan simpulan-simpulan lain atau meminta tinjauan rekan sejawat (peer review). Tinjauan itu pun dilakukan dengan metode buta ganda (double blind) di mana pakar tidak mengetahui siapa yang memeriksa simpulan mereka dan pemeriksa itu pun tidak mengetahui siapa yang membuat simpulan itu.
Menurutnya, masyarakat awam perlu diberi penjelasan bahwa kedua hal tersebut tidaklah sama. Generalisasi menyatakan kemungkinan berdasarkan realitas yang diamati sehingga dapat diukur dan diverifikasi. Generalisasi bukanlah sebuah simpulan tapi dapat menuntun kita memahami sebab-akibat.
Stereotip, di sisi lain, adalah perilaku sosial yang buruk. Stereotip hanya menyasar simpulan umum dan instan serta kebal terhadap uji fakta. Jika generalisasi merupakan pemandu pola pikir ilmiah lewat pengumpulan fakta-fakta yang ada maka stereotip hanya sebatas prasangka. Dari awal, stereotip sudah membuat orang menghakimi sesuatu tanpa terlebih dahulu melakukan penelusuran. Oleh karena itu, stereotip melibatkan emosi dan itu rentan dipermainkan.
Institusi pendidikan juga punya peran signifikan terhadap merosotnya nilai-nilai kepakaran. Sejak kampus mengadopsi pola badan usaha/ layanan, para Mahasiswa(i) tidak lagi memandang kampus sebagai tempat pendewasaan diri dan wadah mengasah kemampuan.Â
Merasa bahwa pengalaman belajar adalah layanan yang mereka bayar, mereka pun berperilaku seperti pelanggan dan sebagaimana tuntutan setiap pelanggan pada umumnya; mereka selalu benar.
Kampus memperlakukan Mahasiswa(i) sebagai klien bukannya peserta didik. Mereka dimanjakan oleh layanan pembelajaran baik secara material maupun secara intelektual.Â
Sebenarnya hal itu tidak sepenuhnya keliru. Hanya bagi pemuda-pemudi yang konsep disiplin diri dan etika berperilakunya belum matang, pengalaman kuliah tak ubahnya paket liburan yang dihadiahi sebuah gelar sarjana di penghujung masanya. Pengalaman kampus berbasis produk layanan itu hanya sibuk membelanjakan anggaran dan membangun fasilitas.
Kampus kehilangan orientasi membangun citra dan tradisi kepakaran. Kelas dan mata kuliahnya hanya berisi pelatihan tanpa nuansa pendidikan. Sehingga ijazah dan gelar hanya menjadi saksi bisu kehadiran rutin mahasiswa(i) di kampus.Â
Kedua hal itu tidak mencirikan subjek yang telah menempuh pendidikan dan mematangkan tradisi intelektualnya. Parahnya lagi, para Mahasiswa(i) itu menganggap bahwa wisuda menandakan uang kuliah yang selama ini mereka bayar sudah dianggap lunas.
Coba saja tanyakan kepada mahasiswa(i) itu keinginan terbesar mereka dari pengalaman kuliah itu. Kebanyakan dari mereka akan menjawab ingin cepat lulus dan meninggalkan kampusnya.Â
Tidak ada yang peduli untuk memaksimalkan waktu mengasah diri, mendiskusikan ide dan pengembangan ilmu bersama Dosen yang mereka pilih sebagai Mentor, atau menerapkan gagasan-gagasan lewat program pengabdian masyarakat. Bahkan, banyak penerima beasiswa yang justru mengesampingkan program khusus yang ditargetkan kepada mereka.
Hasilnya, lulusan dengan standar biasa saja termasuk tenaga ahli yang kemampuannya tidak sesuai kualifikasi zamannya. Termasuk tenaga pengajar atau Dosen yang dihasilkan dari pola pelayanan kampus seperti itu.Â
Bukan rahasia lagi, banyak Dosen yang gemar memplagiasi karya orang lain bahkan menghasilkan tulisan yang idenya biasa kita temukan di diskusi warung kopi. Tidak ada yang spesial. Target karyanya pun dihitung berdasarkan target pendapatannya.
Kondisi itu diperparah dengan banyaknya kampus abal-abal yang orientasinya hanya mengejar keuntungan. Melihat pasar yang potensial, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyertakan anak-anak mereka ke Perguruan Tinggi dimanfaatkan sedemikian rupa untuk meraup rupiah.Â
Mahasiswa(i) hanya fokus pada selembar ijazah sebagai tiket ke dunia kerja, Dosennya tunduk pada kebijakan manajemen pengelolaan berorientasi keuntungan, dan pengalaman kuliah yang jauh lebih buruk dari Sekolah Menengah. Lengkaplah sudah.
Komersialisasi pengalaman kuliah ini tidak hanya merusak tradisi membangun kepakaran di zona akademis namun juga luput mengawasi satu hal paling mendasar; membentuk etika profesionalisme.Â
Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, tidak sedikit mahasiswa(i) yang menantang Dosennya baik di ruang kelas maupun di ruang publik hanya karena 'merasa' dirugikan atau sudah merasa lebih dari cakap hanya karena sudah membaca banyak buku dan telaten merujuk literatur ilmiah.
Hal itu tentu meremehkan pendidikan, pengalaman, bakat, dan pengakuan lembaga otoritas dari Dosen bersangkutan. Padahal, kampus hanyalah langkah awal dari sebuah petualangan intelektual.Â
Buku dan internet itu bukanlah senjata; tidak lebih dari sekadar input informasi. Belum dipilah menjadi data, lalu diverifikasi dan divalidasi kemudian diolah untuk menghasilkan simpulan. Itu pun mesti diuji dan didiskusikan kembali sebelum ditimbang perlu tidaknya simpulan itu dinyatakan atau disebarluaskan.
Sebaliknya, Dosen sebagai profesi yang mewakili bidang kepakaran tertentu tidak dapat menunjukkan sikap absolutisme. Dosen juga bisa salah dan rentan menerapkan proses berpikir konyol, terutama jika diselubungi maksud atau tujuan tertentu.Â
Dosen dituntut lebih dewasa mencontohkan ritual kepakaran di depan mahasiswa(i), tidak gegabah, dan tentunya tidak menutup diri terhadap diskusi dan kemungkinan bahwa mahasiswa(i) bisa saja mengutarakan simpulan yang lebih benar atau lebih dapat diterima.
Persoalan etis dalam relasi tradisi kepakaran antara Dosen dan mahasiswa(i) perlu mendapat kesempatan untuk dibahas secara terbuka. Dalam beberapa kondisi, Dosen mengeluh karena keahlian mereka hanya dianggap jasa layanan yang dibeli oleh mahasiswa(i). Seperti pada kasus mengirim e-mail atau pesan Whatsapp yang tidak mengenal waktu atau dengan bahasa yang tidak baku. Begitu pun Mahasiswa(i) yang dengan santainya mengajukan pertanyaan konyol atau protes terhadap sistem penilaian tanpa argumen yang cukup.
Mahasiswa(i) juga sering dirugikan dengan batasan waktu yang ditetapkan oleh Dosen. Dalam beberapa kasus, Dosen terkadang dengan entengnya meninggalkan kelas atau tidak menghadiri janji yang sudah disepakati sebelumnya dengan alasan tidak rasional dan juga tidak memberikan solusi penyelesaian.Â
Mahasiswa(i) juga sering mengeluhkan kewajiban mendalami literatur dan daftar bacaan tanpa panduan memadai dari Dosen. Sebab mahasiswa(i) yang dibiarkan menjelajah tanpa panduan mungkin saja tersesat. Belum lagi kasus Dosen yang hanya memikirkan proyek.
Satu hal yang pasti, relasi belajar-mengajar antara Dosen dan Mahasiswa(i) sama sekali tidak dapat disederhanakan menjadi jasa layanan yang begitu saja bisa ditukar dengan uang.Â
Mahasiswa(i) berutang banyak hal kepada Dosennya dan itu tidak dapat diukur secara materiel. Baik Mahasiswa(i) maupun Dosen mesti membangun rasa hormat, kepercayaan, dan keyakinan satu sama lain. Percayalah apa yang diberikan oleh Dosen itu telah melewati pertimbangan dan uji coba yang rumit.
Tanpa etika yang dimapankan sebelum interaksi kelas berlangsung, pengalaman kuliah hanya akan meninggalkan kesan sekadar melaksanakan tuntutan tanpa jejak membangung tradisi kepakaran yang positif. Kritik dan diskusi adalah hal yang mutlak, tanpanya bidang keilmuan akan stagnan kajiannya.Â
Namun perlu dilandasi oleh etika dan tentunya rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan. Yakinlah bahwa Mahasiswa(i) itu berutang kepercayaan, kesantunan, usaha, dan pemikiran kepada Dosennya.
Di bagian-bagian awal bukunya, Tom Nichols banyak menyebutkan kritik yang tajam namun perlu. Hal itu memang sudah selayaknya dibicarakan secara terbuka. Bulan malah dianggap sebagai tabu.Â
Saya sendiri menganggap kritik yang disampaikan Tom Nichols sangat relevan terutama bagi diri pribadi saya sendiri sebagai seorang tenaga pendidik.
Ulasan ini akan berlanjut ke Bagian Dua. Mudah-mudahan kita semua dapat memetik hikmah dari pesan yang Tom Nichols coba sampaikan ke kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H