Banyak pula novel atau film yang menceritakan seseorang yang cerdas namun mampu mengalahkan para pakar yang mewakili perusahaan, universitas, atau pemerintah. Atau Siswa(i) dan Mahasiswa(i) yang menantang debat Guru dan dosennya. Semuanya hanya karena bermodal bahan bacaan; setumpuk buku yang sudah dibacanya.Â
Percayalah, buku memang merupakan kunci pengetahuan dan peradaban namun untuk menghadapi seorang pakar, tumpukan bacaan itu hanya sebuah syarat di antara berbagai macam syarat lainnya.
Para pakar dan masyarakat awam sulit menjalin komunikasi efektif karena mereka semua adalah manusia yang rentan berbuat salah. Para pakar kadang terjerumus pada pola pikir yang konyol sementara masyarakat awam tidak memahami batas kemampuan intelektual mereka.Â
Baik pakar maupun awam bisa terjebak dalam perangkap yang sama; hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar dan mengingkari fakta dari hal yang mereka tidak sukai.
Bias Konfirmasi, Simplifikasi, dan Komersialisasi: Kecongkakan Para Intelektual Pemula
Bias konfirmasi ketika menanggapi sebuah informasi merupakan fenomena psikologis umum yang jarang disadari. Orang cenderung membenarkan sesuatu yang sesuai dengan asumsi dan kepercayaan mereka.Â
Sehingga hanya menerima data yang mendukung pendapat yang diyakini benar lalu menolak mentah-mentah data pembandingnya. Perhatian ditujukan hanya ke hal yang mengonfirmasi prasangka atau yang memberikan dukungan saja.
Dalam kondisi ekstrim, hal itu bisa menuntun pada fenomena Dunning-Kruger yang ditemukan oleh David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University. Fenomena itu menyebutkan bahwa semakin bodoh seseorang maka semakin yakin dia bahwa dia tidak bodoh.Â
Sehingga orang itu akan semakin banyak bicara dan cenderung berteriak-teriak atau mencela ketika berbicara. Hal itu ia lakukan untuk menutupi ketidaktahuannya terhadap apa yang ia bicarakan.
Orang itu tidak lagi mampu berpikir jernih dan terus berusaha mengalihkan perhatian agar orang lain tidak menyadari kebodohannya. Orang yang senang sesumbar mengomentari sesuatu dan sibuk menyerang orang lain lambat laun akan kehilangan jati dirinya.Â
Ketidakmampuannya menata argumen secara logis membuat mereka sulit menyimpulkan hasil pikirannya. Sehingga mereka bukan hanya rentan salah tapi juga gagal menyadari kesalahan yang dibuatnya.