Kecenderungan itulah yang membuat para pakar semakin berhati-hati dalam menentukan simpulan. Terkadang, mereka harus mengonfirmasi simpulan mereka dengan simpulan-simpulan lain atau meminta tinjauan rekan sejawat (peer review). Tinjauan itu pun dilakukan dengan metode buta ganda (double blind) di mana pakar tidak mengetahui siapa yang memeriksa simpulan mereka dan pemeriksa itu pun tidak mengetahui siapa yang membuat simpulan itu.
Menurutnya, masyarakat awam perlu diberi penjelasan bahwa kedua hal tersebut tidaklah sama. Generalisasi menyatakan kemungkinan berdasarkan realitas yang diamati sehingga dapat diukur dan diverifikasi. Generalisasi bukanlah sebuah simpulan tapi dapat menuntun kita memahami sebab-akibat.
Stereotip, di sisi lain, adalah perilaku sosial yang buruk. Stereotip hanya menyasar simpulan umum dan instan serta kebal terhadap uji fakta. Jika generalisasi merupakan pemandu pola pikir ilmiah lewat pengumpulan fakta-fakta yang ada maka stereotip hanya sebatas prasangka. Dari awal, stereotip sudah membuat orang menghakimi sesuatu tanpa terlebih dahulu melakukan penelusuran. Oleh karena itu, stereotip melibatkan emosi dan itu rentan dipermainkan.
Institusi pendidikan juga punya peran signifikan terhadap merosotnya nilai-nilai kepakaran. Sejak kampus mengadopsi pola badan usaha/ layanan, para Mahasiswa(i) tidak lagi memandang kampus sebagai tempat pendewasaan diri dan wadah mengasah kemampuan.Â
Merasa bahwa pengalaman belajar adalah layanan yang mereka bayar, mereka pun berperilaku seperti pelanggan dan sebagaimana tuntutan setiap pelanggan pada umumnya; mereka selalu benar.
Kampus memperlakukan Mahasiswa(i) sebagai klien bukannya peserta didik. Mereka dimanjakan oleh layanan pembelajaran baik secara material maupun secara intelektual.Â
Sebenarnya hal itu tidak sepenuhnya keliru. Hanya bagi pemuda-pemudi yang konsep disiplin diri dan etika berperilakunya belum matang, pengalaman kuliah tak ubahnya paket liburan yang dihadiahi sebuah gelar sarjana di penghujung masanya. Pengalaman kampus berbasis produk layanan itu hanya sibuk membelanjakan anggaran dan membangun fasilitas.
Kampus kehilangan orientasi membangun citra dan tradisi kepakaran. Kelas dan mata kuliahnya hanya berisi pelatihan tanpa nuansa pendidikan. Sehingga ijazah dan gelar hanya menjadi saksi bisu kehadiran rutin mahasiswa(i) di kampus.Â
Kedua hal itu tidak mencirikan subjek yang telah menempuh pendidikan dan mematangkan tradisi intelektualnya. Parahnya lagi, para Mahasiswa(i) itu menganggap bahwa wisuda menandakan uang kuliah yang selama ini mereka bayar sudah dianggap lunas.
Coba saja tanyakan kepada mahasiswa(i) itu keinginan terbesar mereka dari pengalaman kuliah itu. Kebanyakan dari mereka akan menjawab ingin cepat lulus dan meninggalkan kampusnya.Â