Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memahami Peran Perangkat Teknologis, Ulasan "Dunia Pasca-Manusia" oleh Budi Hartanto (Bagian Satu)

25 Agustus 2019   21:51 Diperbarui: 25 Agustus 2019   22:15 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, Don Ihde mengakui dikotomi antara pengalaman transitif dan instransitif. Pengalaman transitif dipengaruhi dimensi sosial dari penggunaan alat dan artefak teknologi sedangkan pengalaman instransitif itu berdiri sendiri dan sama sekali berada di luar konteks dinamika sosial. Keterlibatan publik dalam interpretasi temuan dan simpulan Sains inilah yang membendakan Don Ihde dari Roy Bhaskar.

Roy Bhaskar bersikeras bahwa Sains yang ideal adalah yang tidak dipengaruhi oleh konteks sosial. Sains mesti dalam posisi liberal, dibiarkan berkembang secara mandiri tanpa ada intervensi. Tapi nampaknya, menurut Karlina Supelli, hal itu sulit diwujudkan. Sebab segala bentuk aktivitas manusia adalah bagian dari kebudayaan, termasuk Sains itu sendiri.

Yang tak kalah penting adalah bahwa Sains mesti melayani publik. Pencapaian Sains harus dapat diterapkan secara praktis untuk memudahkan kehidupan masyarakat. Sains mesti peka dengan realitas sosial termasuk dengan masalah etika yang mengawal proses penerapan Sains dalam pengembangannya. Oleh itu, hermeneutika material Sains menegaskan simpulan bahwa realitas tidak hanya dipahami secara logis dan rasional namun juga terbantukan oleh persepsi inderawi saat menggunakan alat atau artefak Sains.

Relasi Tubuh-Jiwa-Instrumen Teknologis

Jiwa merupakan tema sentral dari semua bahasan filsafat. Dianggap sebagai daya yang mengontrol tubuh atau entitas material, jiwa sering dikaitkan dengan ruh dan pikiran. John Searle pernah mengkritik Rene Desacartes yang memisahkan antara tubuh dan jiwa. Menurutnya, Descartes membuat jiwa menjadi mustahil dibahas secara ilmiah karena dianggap tidak rasional. Sehingga fokus kajian hanya terpaku pada tubuh.

Sains hingga hari ini masih sangsi pada jiwa. Tak banyak pakar yang seperti Francis Crick yang menyinggung sisi mekanistis jiwa lewat fungsi neuron di otak kita. Langkahnya diikuti oleh Antonio Damasio yang, melalui kerja neuron itu, mengaitkan emosi dengan rasio. Namun, penjelasan itu masih kurang memadai. Jiwa, dalam pandangan Sains, masih sebagai mesin yang terpisah dari subjektivitas manusia.

Sifat mekanistis itu mereduksi peran jiwa sebatas pada gerak. Padahal, fungsi otomatis dari organ tubuh kita saja belum cukup untuk menjelaskan jiwa. Di sinilah fenomenologi berperan menyeret jiwa dalam diskusi yang lebih serius. Jiwa seharusnya tidak dipisahkan dari tubuh dan berperan dalam memicu kesadaran. Tak berhenti sampai di situ, Don Ihde menghadirkan jiwa dalam pengalaman ketika menggunakan perangkat teknologis.

Ketika kita mengobrol bersama keluarga atau teman di media sosial, begitu pula berbincang dengan mereka lewat panggilan telepon, kita merasakan kehadiran mereka secara nyata. Ada kontak kejiwaan dalam pengalaman mengobrol/ berbicara yang difasilitasi oleh perangkat teknologis. Kualitas itu bersifat materialis dan merepresentasikan subjektivitas dari mereka yang terlibat. Kehadiran mereka kita persepsi secara inderawi yang begitu kita memanfaatkan perangkat tersebut.

Itu menjelaskan mengapa fungsi neuron di otak kita tidak cukup mampu menjelaskan kehadiran jiwa. Sebab jika memang neuron itu menghadirkan jiwa, mengapa kita tidak dapat mengontrol kerja neuron itu secara sadar? Keraguan Descartes mengantarkannya pada kesadaran diri namun jiwa yang mengontrol pikiran berkesadaran itu masih dianggap sebagai realitas non-fisik.

Entah mengapa kecenderungan itu (menganggap jiwa sebagai eksistensi yang gaib) masih menyelimuti realitas saintifik (ilmiah). Apakah Sains ingin mengambil jarak dengan filsafat dan agama yang mana keduanya menempatkan jiwa sebagai bahasan sentral? Jika Sains memang berupaya menghadirkan pembacaan baru terhadap realitas, ia mesti terlebih dahulu membangkitkan kesadaran pada diri subjek yang menjadi targetnya. Oleh karena itu, Sains mesti memberi perhatian terhadap kajian tentang jiwa dan kejiwaan.

Post-Note

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun