Konstruksi Epistemologi Muhammad Iqbal: Kritik atas Idealisme Platon
Pemikiran Platon bercorak antroposentrisme (manusia sebagai pusat pemikiran) yang dilatarbelakangi oleh pandangan gurunya; Socrates. Meskipun hal itu belum diaplikasikan sepenuhnya. Pada hakikatnya, pemikiran Platon masih bersifat pra-rasional murni dengan unsur-unsur mitos masih menjadi dasar pijakannya.
Menurut Platon, pengetahuan berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keraguan yang muncul  berdasar segala penampilan dan pengalaman jasmani atau indrawi yang bermacam-macam.Â
Oleh sebab itu, terdapat pertentangan antara jati diri (being) dan penampilan (becoming) yang dialami setiap manusia. Platon menolak pengetahuan yang berasal dari pancaindra karena dianggapnya sebagai pengetahuan yang artifisial atau palsu.
Iqbal mengkritik epistemologi Platon yang menganggap rendah ilmu yang diperoleh melalui pancaindra dan memandang dunia dan seisinya hanya sebagai bayang bayang yang tidak nyata. Iqbal menolak pendapat Platon dengan pendekatan Quranik. Iqbal memperlihatkan bahwa Tuhan sangat menghargai pancaindra sebagai anugerahNya.Â
Sebab itu Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas segala aktivitas yang dilakukan pancaindra yang dalam memeroleh pengetahuan. Ajakan Platon untuk mencapai kebaikan tertinggi dengan cara menjauhi dunia, sangat bertentangan dengan tujuan penciptaan manusia sebagai penguasa di muka bumi.Â
Iqbal meyakini bahwa untuk memeroleh pengetahuan tidak cukup hanya menggunakan satu teori (akal), seperti yang dikemukakan Platon tetapi harus melalui kombinasi indra, akal, dan intuisi. Penolakan Iqbal terhadap Platon dan idealismenya bertolak dari pijakannya yang bertentangan dengan paradigma Tauhid yang dipahami Iqbal.
Iqbal memandang Agama bukan sekadar persoalan tabiat manusia, tetapi juga mengatur keseluruhan ekspresi manusia. Iqbal mendasarkan kritik kerasnya atas dikotomi Timur dan Barat sebagai argument tentang dualisme palsu (kebenaran religius vs kebenaran sains). Menurutnya, dualisme itu melahirkan distorsi.
Iqbal menunjukkan bahwa keunikan diri, bila dimengerti semestinya, memegang kunci untuk memahami semua eksistensi. Dia menolak dikotomi, seperti mengada dan menjadi, manusia dan Tuhan, pikiran dan materi, nalar dan intuisi, sains dan agama, subjek dan objek serta pemikiran dan tindakan. Iqbal selalu menyatakan bahwa semangat Al-Quran adalah semangat terhadap hal hal yang kongkret-eksperimental dan anti-klasik.Â
Bahkan ia mengungkap lahirnya Islam adalah lahirnya intelektual induktif yang menjadi kebudayaan Islam yang sebenarnya sekaligus menjadi landasan bagi kebudayaan modern. Iqbal menyadari bahwa ilmu pengetahuan merupakan studi objektif yang netral tentang alam. Ia menghendaki sebuah komunitas peneliti yang selalu ingin mencari kebenaran sempurna tanpa memandang kasta, keyakinan, atau warna kulit.Â
Merupakan sesuatu yang logis, menurut Iqbal, bahwa dalam diri manusia terdapat seperangkat alat yang berfungsi untuk memeroleh ilmu pengetahuan seperti pancaindra, akal, dan intuisi. Pada awalnya, Iqbal berusaha untuk berlaku seimbang terhadap indra, akal, dan intuisi, tetapi akhirnya ia lebih menekankan pada peran intuisi.