Sore tadi saya merapikan tumpukan buku-buku lama yang sepertinya sudah rindu untuk kembali dibaca. Di antara buku itu ada Dialog Epistemologi Muhammad Iqbal dan Charles S. Pierce yang ditulis oleh Dr. RODLIYAH KHUZAI, M.Ag. Buku yang saya baca di tahun 2008 lalu. Karena pembacaan ulang membangkitkan kenangan lalu, ada baiknya saya bagi pengalaman baca ini ke publik dengan ulasan sederhana.Â
Dialog pemikiran antara Mohammad Iqbal dan Charles S. Pierce secara jelas dan gamblang diungkap dalam buku ini. Keduanya memberi kesan yang begitu kuat terhadap masing-masing komunitasnya dan tentunya menyumbang perubahan besar pada peradaban intelektual. Antara Iqbal dan Pierce terdapat perbedaan epistemologi yang sangat mendasar di dalam penggalian kebenaran.Â
Buku ini akan memberikan sumbangan pemikiran yang besar bagi pengembangan metodologi ilmu yang akhir-akhir ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Sebab melimpahnya informasi ternyata tidak cukup mampu mendewasakan cara berpikir dan bersikap seseorang.Â
Akal dan Kebangkitan Intelektualisme
Berbagai teori serta konsep tentang akal pikiran telah muncul sejak awal manusia menggunakan pemikirannya. Dalam tradisi filsafat modern Barat sendiri, kita mengenal Rene Decartes. Dia cukup dikenal dengan slogan "Cogito Ergu Sum" yang yang mengandaikan bahwa eksistensi subjek ditentukan oleh kesadarannya sendiri.Â
Begitu dahsyatnya pengaruh aliran rasionalisme ini sehingga melahirkan renaissance, yaitu era pencerahan pemikiran di dunia barat. Sampai sekarang, pengaruh aliran rasionalisme masih sangat besar sehingga melahirkan berbagai penemuan ilmu dan teknologi modern. Dari sekian banyak aliran filsafat yang berkembang sepanjang sejarah filsafat barat, yang memiliki pengaruh sangat besar dan memberikan perubahan yang luar biasa adalah skeptisisme.
Skeptisisme sudah cukup populer sejak masa Pra-Socrates, salah seorang tokohnya adalah Pyrrho (360-270 SM), yang menyatakan bahwa pengamatan memberikan pengetahuan yang sifatnya relatif. Jikalau saja pengamatan itu benar, itu hanya berlaku untuk hal-hal lahiriah saja; bukan mengenai hakikatnya. Bukan hanya pengamatan, akal juga memberikan pengetahuan yang relatif. Oleh sebab itu, setiap dalil bisa benar dan bisa pula salah karena anggapan anggapan manusia terhadapnya relatif.
Charles S. Pierce sebagai seorang filsuf modern kontemporer, mengkritik Decartes dengan metode skeptisismenya. Menurutnya, tidak mungkin memulai filsafat dengan keraguan yang sempurna karena keraguan murni memerlukan argumentasi khusus. Bagi Decartes, kriteria kepastian adalah sesuatu yang dipahami secara jelas dan berbeda; hal itu menjadi tolok ukur kebenaran.Â
Di sisi lain, Mohammad Iqbal justru menganggap pancaindra sebagai pembuka penemuan realitas, perlu ditindaklanjuti dengan alat lain untuk memperoleh pengetahuan yang lebih lengkap dan sempurna. Namun, tidak semua ilmu yang diperoleh dimulai melalui pancaindra, bisa saja intuisi mendahuluinya.
Epistemologi Modern
Filsafat modern dimulai sejak  tahun 1600 --- 1900, dan filsafat kontemporer beranjak dari akhir periode tersebut. Zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah kritik tajam terhadap alam pikir abad pertengahan. Abad pertengahan mengenalkan theoretical science, sebuah usaha untuk memahami dunia. Sedangkan pada abad modern mengajukan pendekatan practical science, sebuah usaha untuk mengubah dunia.Â