Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengenang Wittgenstein Lewat Tractacus: Peran Bahasa dan Kecakapan Literasi

24 Juli 2019   21:37 Diperbarui: 24 Juli 2019   21:44 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai simpulan, Wittgenstein dalam Tractacus, seperti yang telah disinggung sebelumnya, menetapkan bagian paling penting dari karyanya tersebut ada pada simpulan-simpulan negatif tentang filsafat yang dikemukakan pada bagian akhir karyanya itu. 

Di bagian itu, ia mengemukakan bahwa semua kalimat yang bukan gambaran atomik dari rangkaian obyek atau gabungan fungsi-kebenaran (truth-functional) dapat dipastikan tak bermakna. Skenario itu bisa menimpa proposisi-proposisi mengenai etika serta estetika, semua proposisi yang berkenaan dengan makna hidup, semua proposisi logika, bahkan semua proposisi filosofis, dan tentunya semua proposisi yang ada dalam Tractatus itu sendiri.

Terakhir, sejujurnya sampai saat ini pun, saya masih merasa sulit memahami karya Wittgenstein ini dengan hanya berbekal pembacaan mandiri belaka. Namun yang pasti, Wittgenstein telah menemani saya larut dalam perenungan akan hal-hal yang bersifat etis, estetis, dan metafisis, bisa jadi bukanlah bagian dari (fakta) dunia seperti dalam tesisnya, "Dunia adalah segala sesuatu yang demikian adanya (The world is all that is the case)."

Apa yang kita anggap etis, estetis, dan metafisis sering kali sesempit tafsiran kita terhadap fakta, terhadap sesuatu yang seharunya demikian adanya ("what is the case"). Celakanya, sebagai suatu tafsiran, hal ini tentu akan selalu berbeda dari masa ke masa, dari satu orang ke orang yang lain, dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Dan karena perbedaan radikal yang mungkin dimungkinkan dari tafsiran tiap-tiap orang terhadap fakta dunia, terhadap "what is the case" maka kita tidak perlu ribut dalam memaknai perbedaan.

Jangan terlarut dalam sesuatu yang sebenarnya kita tidak pahami dengan baik. Apalagi memainkan euforia publik sehingga mencelakai saudara kita sendiri. Belajarlah untuk mehan diri tidak mengomentari sesuatu yang tidak anda pahami seutuhnya atau malah anda tidak tidak punya kepentingan atasnya. 

Wittgenstein memperingatkan bahwa bahasa yang kita gunakan adalah cerminan dari isi kepala kita. Jangan sampai borok sesat pikir kita berakhir tontotan publik secara luas. "Apa yang tidak dapat kita bicarakan, kita mesti membiarkannya dalam diam (What we cannot speak about we must pass over in silence)", demikian sabda Wittgenstein yang patut kita renungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun