"Barangsiapa yang ingin menjadi seorang pemimpin, niscaya kedudukan yang didambakannya itu akan meninggalkannya, dan jika ia telah menduduki jabatan, maka ia akan ditinggalkan banyak ilmu," - Imam Syafi'i
Ma'ruf Amin merupakan salah satu tokoh nasional yang disegani, namun bukan sebagai politisi. Tapi disegani keilmuannya sebagai salah satu ulama kharismatik Nahdatul Ulama.
Sosok Ma'ruf Amin mulai banyak dibahas dalam dunia politik bukan kali ini saja saat resmi jadi calon Wakil Presiden berpasangan kandidat petahana, Joko Widodo.Â
Jauh sebelumnya, Ia banyak disebut-sebut sebagai salah satu tokoh sentral saat gelombang besar umat Islam pada momentum 411 dan 212. Kala itu, Ia salah satu tokoh yang memberi kesaksian atas penghinaan agama Islam oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Posisi Ma'ruf Amin bukan tanpa hambatan untuk maju mendampingi Joko Widodo. Mengingat sepak terjangnya, salah satu tokoh sentral sebagai Ketua Majeli Ulama Islam (MUI) yang melunturkan semangat Ahokers (julukan pendukung Ahok) dalam membela Ahok untuk tidak terjerumus pada dakwaan sebagai penista Agama Islam.
Terjebak Dipusaran Lumpur Syahwat Kekuasaan Politik
Saat ini, tidak sedikit pihak yang menyebut capres petahana dinilai memanfaatkan peran Ma'ruf Amin sebagai salah satu ulama sebagai alat kampanye dalam hal pencitraan religius.
Hal tersebut, diakui oleh Direktur Eksekutif Bimata Politica Indonesia (BPI) Panji Nugraha. Ia menyebut, posisi Ma'ruf Amin ditujukan untuk meraih simpati kaum muslim sebagai mayoritas suara pada pemilihan presiden 2019 mendatang.
Sementara Ma'ruf Amin, dinilai memanfaatkan posisi Rais Aam di NU untuk mendapatkan kursi cawapres Joko Widodo.
"Dalam ranah politik praktis startegi politik pragmatisme tidak diharamkan sebagai bagian politik praktis untuk merebut kekuasaan. Akan tetapi, juga tidak dibenarkan semata-mata unsur pragmatisme sebagai orientasi utama dalam berpolitik," tegas Panji Nugraha dilansir dari Bonepos.com (14/11/2018).