Di kampus Universitas Mercu Buana, kami pada tanggal 24 April 1998 dengan memberanikan diri menuju ke Istana untuk menyerahkan "Deklarasi Meruya" yang ditandatangani oleh ratusan mahasiswa UMB yang berisi 5 Tuntutan Mahasiswa. Pertama, turunkan harga barang. Kedua, hentikan berbagai bentuk kekerasan oknum ABRI terhadap aksi moral dan intelektual mahasiswa serta masyarakat. Ketiga, laksanakan reformasi secara total. Keempat, keluarkan daftar kekayaan pejabat. Kelima, lakukan dialog 'Mahasiswa-Presiden.
Kemarahan mahasiswa semakin memuncak ketika pada tanggal 1 Mei 1998, Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003 meski pada tanggal 2 Mei Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (1998).Â
Dipicu kenaikan BBM melonjak tajam hingga 71% pada tanggal 4 Mei 1998 disusul tiga hari kerusuhan di Medan dengan korban sedikitnya 6 meninggal. Dari tanggal 5-12 Mei 1998 beberapa kampus melakukan aksi lebih berani dan turun ke jalan. Aparat keamanan gabungan ABRI dan polisi membubarkan  aksi mahasiswa turun ke jalan tersebut dengan pentungan dan senjata.
5 Mei 1998 terjadi Tragedi Meruya Berdarah di kampus UMB, Tragedi IKIP Jakarta (UNP Jakarta), Tragedi Cimanggis di kampus Fakultas Teknik Universitas Jayabaya dan berbagai kampus lainnya yang mengakibatkan mahasiswa luka tembak dan cedera akibat pentungan rotan serta mengalami iritasi mata akibat gas air mata.
Puncaknya pada tanggal 12 Mei Tragedi Trisakti, di mana 4 mahasiswa Universitas Trisakti meninggal setelah ditembak oleh aparat keamanan pada saat melakukan aksi long march menuju gedung DPR Senayan yang akhirnya menyulut Kerusuhan Mei 1998.
Eskalasi gerakan mahasiswa semakin meninggi. Tragedi Trisakti menyatukan mahasiswa seluruh Indonesia untuk melakukan aksi bersama yang sebelumnya bergerak sendiri-sendiri di setiap kampus dan cenderung ego kampus. Dari hasil pertemuan rapat berbagai kampus baik mewadahi lembaga formal (FKSMJ) maupun lembaga non formal (Forkot) menyepakati pada tanggal 18 Mei 1998 untuk menduduki gedung DPR RI.
Hidup matinya perjuangan mahasiswa ditentukan pada saat itu. Mahasiswa siap menjadi martir perubahan jika dibantai oleh rejim Soeharto seperti yang terjadi di Tiananmen tahun 1989 di Cina. "Dimanapun tirani berada harus tumbang", demikian bunyi semboyan kami. Mahasiswa tidak akan meninggalkan gedung DPR RI sebelum 1 syarat perubahan belum dipenuhi, yaitu "Soeharto Harus Turun dari  tampuk kekuasaannya". Soeharto telah menjadi publik enemy (musuh bersama).Â
Â
Kesaksian Penawaran Proyek Politik Pemulihan Nama Baik Soeharto
Dari kejadian itu membuktikan bahwa mahasiswa adalah musuh Orde Baru. Para loyalis Soeharto masih kuat bercokol dan memegang pundi-pundi keuangan Indonesia sampai saat ini terus berupaya melemahkan makna dan keluhuran gerakan mahasiswa '98. Tanpa malu-malu dan dengan suara lantang  mengusulkan Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional oleh kekuatan partai warisan Orde Baru dan  partai pecahannya.
Bagi saya tidak aneh .Gerakan ini sudah saya rasakan sejak 1999 dimana saya sudah mendapatkan tawaran dari pihak keluarga Cendana untuk memulihkan nama baik Soeharto. Sebagai salah seorang aktivis '98 di UMB, saya dibujuk untuk memulihkan nama baik Soeharto. Saya diminta mengajak mahasiswa untuk sholat Jumat bersama Soeharto di Cendana dan lalu melakukan konferensi pers bahwa Mahasiswa '98 meminta maaf kepada Soeharto atas kekeliruan mahasiswa menurunkannya.  Sebagai imbalannya, Mr. P menyuruh saya untuk  membuka showroom Kedaung di Pondok Indah, Jakarta Selatan.Â