Depresi postpartum pada ayah dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti intensitas tidur dan istirahat yang kurang di hari-hari awal kelahiran anak, perubahan hubungan dengan pasangannya pasca melahirkan, masalah perekonomian dan masalah pekerjaan.Â
Seorang ayah yang mengalami depresi postpartum menjadi merasakan kemarahan yang tidak tertahankan, merasa ingin bekerja lebih banyak, sering merasa kelelahan, mengalami penurunan konsentrasi, nafsu makan menurun, dan mengalami gejala-gejala fisik seperti kepala pusing dan pegal-pegal. (Reeven & Cahyanti, 2021)
Belum ada studi yang menyajikan data mengenai jumlah ayah yang mengalami depresi postpartum di Indonesia. Tetapi dari data WHO tahun 2020 (World Health Organization, 2021) dapat diketahui bahwa dari 255.980 kasus gangguan kejiwaan di Indonesia, sejumlah 128.970 kasus terjadi pada laki-laki. Data ini dapat berkorelasi dengan kasus gangguan kesehatan mental yang dialami oleh para ayah pada periode postpartum.
Tidak semua ayah memperoleh hak cuti bagi ayah yang diberikan dan diatur oleh pemerintah pada peraturan yang telah ada. Hal ini sangat tergantung pada kebijakan tempat mereka bekerja.Â
Ada beberapa pihak pemberi kerja yang beranggapan bahwa cuti yang diambil oleh karyawannya dapat merugikan perusahaan karena karyawan tidak memberikan kontribusi bagi perusahaan selama beberapa hari.Â
Sedangkan, hak cuti yang dirancang dengan jumlah hari lebih panjang justru dapat meminimalisir dampak negatif terhadap kondisi mental seorang ayah saat menghadapi periode baru dalam kehidupannya yang juga berpengaruh pada kinerjanya ketika mereka kembali bekerja.
Di sisi lain, beberapa ayah memilih untuk tidak mengambil hak cuti yang diberikan. Jepang menawarkan cuti dengan bayaran penuh selama 30 minggu, Â tetapi hanya 5,14 persen ayah yang mengambil cuti berbayar pada tahun 2017. Mereka yang tidak mengambil cuti menyebutkan berbagai alasan, seperti perusahaan mengalami kekurangan staf, situasi pekerjaan yang tidak mendukung, beban pekerjaaan, ketakutan kehilangan gaji dan adanya hambatan karir (Chzhen et al., 2019).
Selain itu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga masih menjadi hal yang belum lazim bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang diyakini dimana perempuan bertugas mengurus anak dan rumah tangga sedangkan laki-laki bertugas bekerja mencari nafkah bagi keluarga. Padahal, ayah yang mengambil cuti selain dapat terlibat dalam pengasuhan anak juga turut membantu proses pemulihan ibu pasca melahirkan menjadi lebih cepat (OECD, 2016).
Keterlibatan dalam pengasuhan di usia awal anak juga memberikan pengaruh pada kemampuan kognitif dan emosional serta kesehatan fisik anak. Adapun dampak positif yang dirasakan seorang ayah adalah berupa tingkat kepuasan hidup, kesehatan fisik dan mental yang lebih tinggi dibandingkan ayah yang tidak terlibat dalam pengasuhan anak.Â
Oleh karena itu, kondisi kesejahteraan seorang ayah, terutama mental, penting untuk memperoleh perhatian guna terwujudnya kesejahteraan ibu dan anak sebagai fokus utama dari RUU KIA. Tercapainya kesejahteraan ayah, ibu dan anak melalui hak cuti bagi ayah akan menjadikan Indonesia sebagai negara family-friendly yang lebih sehat mental.
Anna, L. K. (2013). Indonesia Kekurangan Psikolog dan Psikiater. https://lifestyle.kompas.com/read/2013/05/21/17202298/Indonesia.Kekurangan.Psikolog.dan.Psikiater