Mohon tunggu...
azmi listya anisah
azmi listya anisah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional

Ibu dua anak yang sedang mencoba mengekspresikan pemikirannya melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pentingnya Kesejahteraan Mental Para Ayah pada Periode Pasca Melahirkan

21 Oktober 2022   14:22 Diperbarui: 21 Oktober 2022   18:52 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Disusunnya Rancangan undang-undang kesejahteraan ibu dan anak (RUU KIA) menjadi angin segar bagi perkembangan kualitas kesejahteraan mental. Kesejahteraan mental dapat diartikan sebagai suatu keadaan sejahtera dimana setiap individu menyadari potensi yang dimiliki, dapat mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi dalam hidup, dapat bekerja secara produktif dan sukses, serta mampu memberikan kontribusi bagi komunitasnya (Ozario, 2011). 

Seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental dapat menyebabkan kerugian ekonomi negara akibat hilangnya produktivitas serta menjadi beban ekonomi dan biaya kesehatan bagi keluarga yang menanggung serta negara (Anna, 2013).  

Kondisi kesejahteraan keluarga menjadi perhatian pemerintah yang dituangkan dalam rancangan undang-undang kesejahteraan ibu dan anak. Selain kesejahteraan ibu dan anak, kesejahteraan seorang suami atau ayah mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan diaturnya hak suami atau ayah dalam RUU KIA, meskipun peraturan-peraturan terdahulu telah mengatur mengenai hal tersebut. 

Dalam RUU tersebut seorang Suami/Ayah berhak mendapatkan hak cuti pendampingan ketika istrinya melahirkan paling lama 40 (empat puluh) hari dan paling lama 7 (tujuh) hari jika istrinya mengalami keguguran kandungan (DPR RI, 2022). 

Jumlah hak cuti suami tersebut jauh melebihi hak cuti bagi pekerja atau buruh yang diatur dalam Pasal 93 ayat (2) dan (4) Undang-undang nomor 13 Tahun 2002 tentang Ketenagakerjaan yaitu sebanyak 2 hari.

Beberapa negara lain sudah menerapkan hak cuti bagi ayah dengan jumlah hari yang terbilang banyak. Estonia memberi jatah cuti kepada ayah selama 85 minggu, Hungaria 72 minggu, Bulgaria 65 minggu, Lithuania 62 minggu, Slovakia 54 minggu. 

Di Asia, Jepang menjadi negara yang paling banyak memberikan hak cuti ayah yaitu selama 36 minggu (Chzhen et al., 2019). Bukan tanpa sebab, hak cuti bagi ayah tersebut diberikan mengingat periode pasca melahirkan (postpartum) menjadi satu periode krusial dalam kehidupan sebuah keluarga. Perubahan besar harus dijalani oleh sebuah keluarga yang baru saja memiliki anak.

Seorang ibu yang baru saja melahirkan mengalami berbagai perubahan. Berbagai penyesuaian perlu dilakukan oleh seorang ibu untuk dapat menjalani kehidupannya. 

Hal ini yang kemudian dapat mempengaruhi kondisi mental atau psikis seorang ibu pasca melahirkan. Terdapat satu kondisi psikologis yang dapat dialami seorang ibu pasca melahirkan yaitu postpartum depression atau dikenal juga dengan depresi postnatal.

Postpartum depression merupakan sebuah kondisi dimana ibu yang baru saja melahirkan mengalami perubahan mood yang merefleksikan disregulasi psikologikal dan menjadi tanda dari gejala-gejala depresi mayor yang berlangsung selama tujuh hari hingga satu tahun setelah kelahiran bayi(Kurniati, 2019). Kondisi tersebut pada kenyataannya tidak hanya dapat dialami oleh seorang ibu tetapi juga seorang ayah yang baru saja memiliki anak. 

Paulson & Bazemore (2010) menjelaskan bahwa depresi postnatal dapat dialami oleh 5-10% ayah yang baru saya memiliki anak. Meskipun telah banyak studi yang meneliti mengenai kasus depresi postpartum pada ayah, namun jumlahnya belum sebanyak studi mengenai depresi postpartum pada ibu (Paulson & Bazemore, 2010).

Depresi postpartum pada ayah dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti intensitas tidur dan istirahat yang kurang di hari-hari awal kelahiran anak, perubahan hubungan dengan pasangannya pasca melahirkan, masalah perekonomian dan masalah pekerjaan. 

Seorang ayah yang mengalami depresi postpartum menjadi merasakan kemarahan yang tidak tertahankan, merasa ingin bekerja lebih banyak, sering merasa kelelahan, mengalami penurunan konsentrasi, nafsu makan menurun, dan mengalami gejala-gejala fisik seperti kepala pusing dan pegal-pegal. (Reeven & Cahyanti, 2021)

Belum ada studi yang menyajikan data mengenai jumlah ayah yang mengalami depresi postpartum di Indonesia. Tetapi dari data WHO tahun 2020 (World Health Organization, 2021) dapat diketahui bahwa dari 255.980 kasus gangguan kejiwaan di Indonesia, sejumlah 128.970 kasus terjadi pada laki-laki. Data ini dapat berkorelasi dengan kasus gangguan kesehatan mental yang dialami oleh para ayah pada periode postpartum.

Tidak semua ayah memperoleh hak cuti bagi ayah yang diberikan dan diatur oleh pemerintah pada peraturan yang telah ada. Hal ini sangat tergantung pada kebijakan tempat mereka bekerja. 

Ada beberapa pihak pemberi kerja yang beranggapan bahwa cuti yang diambil oleh karyawannya dapat merugikan perusahaan karena karyawan tidak memberikan kontribusi bagi perusahaan selama beberapa hari. 

Sedangkan, hak cuti yang dirancang dengan jumlah hari lebih panjang justru dapat meminimalisir dampak negatif terhadap kondisi mental seorang ayah saat menghadapi periode baru dalam kehidupannya yang juga berpengaruh pada kinerjanya ketika mereka kembali bekerja.

Di sisi lain, beberapa ayah memilih untuk tidak mengambil hak cuti yang diberikan. Jepang menawarkan cuti dengan bayaran penuh selama 30 minggu,  tetapi hanya 5,14 persen ayah yang mengambil cuti berbayar pada tahun 2017. Mereka yang tidak mengambil cuti menyebutkan berbagai alasan, seperti perusahaan mengalami kekurangan staf, situasi pekerjaan yang tidak mendukung, beban pekerjaaan, ketakutan kehilangan gaji dan adanya hambatan karir (Chzhen et al., 2019).

Selain itu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga masih menjadi hal yang belum lazim bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang diyakini dimana perempuan bertugas mengurus anak dan rumah tangga sedangkan laki-laki bertugas bekerja mencari nafkah bagi keluarga. Padahal, ayah yang mengambil cuti selain dapat terlibat dalam pengasuhan anak juga turut membantu proses pemulihan ibu pasca melahirkan menjadi lebih cepat (OECD, 2016).

Keterlibatan dalam pengasuhan di usia awal anak juga memberikan pengaruh pada kemampuan kognitif dan emosional serta kesehatan fisik anak. Adapun dampak positif yang dirasakan seorang ayah adalah berupa tingkat kepuasan hidup, kesehatan fisik dan mental yang lebih tinggi dibandingkan ayah yang tidak terlibat dalam pengasuhan anak. 

Oleh karena itu, kondisi kesejahteraan seorang ayah, terutama mental, penting untuk memperoleh perhatian guna terwujudnya kesejahteraan ibu dan anak sebagai fokus utama dari RUU KIA. Tercapainya kesejahteraan ayah, ibu dan anak melalui hak cuti bagi ayah akan menjadikan Indonesia sebagai negara family-friendly yang lebih sehat mental.

Anna, L. K. (2013). Indonesia Kekurangan Psikolog dan Psikiater. https://lifestyle.kompas.com/read/2013/05/21/17202298/Indonesia.Kekurangan.Psikolog.dan.Psikiater

Chzhen, Y., Gromada, A., & Rees, G. (2019). Are the World’s Richest Countries Family Friendly? Policy in The OECD and EU.

DPR RI. (2022). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. DPR RI.

Kurniati, M. (2019). Postpartum Depression Pada Ibu Ditinjau Dari Cara Melahirkan dan Faktor Demografi. Universitas Negeri Semarang.

OECD. (2016). Parental leave: Where are the fathers? Policy Brief. www.oecd.org/

Ozario, T. (2011). What is mental health and mental wellbeing? https://www.mind.org.uk/information-support/your-stories/what-is-mental-health-and-mental-wellbeing/

Paulson, J. F., & Bazemore, S. D. (2010). Prenatal and Postpartum Depression in Fathers and Its Association With Maternal Depression A Meta-analysis. In JAMA (Vol. 303, Issue 19). www.jama.com

Reeven, N. v, & Cahyanti, I. Y. (2021). Gambaran Postpartum Depression pada Figur Ayah. Buletin Penelitian Psikologi Dan Kesehatan Mental (BRPKM), 1(1), 938–946. http://e-journal.unair.ac.id/index.php/BRPKM

World Health Organization. (2021). Mental Health Atlas 2020. https://www.who.int/teams/mental-health-and-substance-use/data-research/mental-health-atlas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun