Mohon tunggu...
Azlina NurunNadya
Azlina NurunNadya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Asia Tenggara Berlomba-lomba Memodernisasi Senjata

18 April 2022   17:04 Diperbarui: 18 April 2022   18:13 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam beberapa tahun terakhir ini, perselisihan antara China dan Filipina dalam mengklaim maritime dan teritorial di Laut China Selatan menyebabkan Filipina meningkatkan keamanan militernya dengan membeli empat kapal perang dari Hyundai Heavy Industries Korea Selatan dengan harga sedikit di bawah $1 miliar dan juga membeli rudal BrahMos senilai $375 juta dari India. Selain Filipina beberapa negara di kawasan Asia Tenggara juga melakukan peningkatan militernya.

Melihat fenomena ini lalu muncul pertanyaan apakah benar Asia Tenggara sekarang sedang berlomba-lomba dalam meningkatkan persediaan senjata militer mereka? dan apabila hal tersebut benar apakah perselisihan politik dan teritorial yang berkepanjangan oleh China yang menjadi faktor utama dalam perlombaan senjata tersebut di kawasan Asia Tenggara? Apakah perlombaan senjata tersebut didorong karena negara-negara merasa terancam dengan China?

Peningkatan Senjata di Kawasan Asia Tenggara

Selain Filipina yang yang membeli empat kapal perang dan rudal BrahMos dari Korea Selatan dan India, negara Indonesia yang juga salah satu negara lain yang mengincar agresi teritorial China, telah meningkatkan angkatan lautnya , dengan pengadaan tiga kapal selam dan beberapa kapal perang baru dalam beberapa tahun terakhir.  

Menurut Basis Data Transfer Senjata Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm, pengiriman senjata ke Asia Tenggara hampir dua kali lipat dari tahun 2005 hingga 2009 dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, dengan pengiriman senjata ke Malaysia melonjak 722%, Singapura sebesar 146% dan Indonesia sebesar 84%.

Singapura telah muncul sebagai anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pertama di antara sepuluh pengimpor senjata global teratas sejak Perang Dingin. Indonesia telah meningkatkan anggaran pertahanan 2011 menjadi US$6,3 miliar, yang berpotensi membuat pengeluaran militer melampaui batas 1% dari produk domestik bruto (PDB) untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun.

Vietnam juga telah menandatangani kesepakatan $3,2 miliar dolar dengan Rusia untuk enam kapal selam diesel kelas kilo diikuti dengan kesepakatan untuk membeli dua puluh jet tempur Sukhoi-30 jarak jauh. Thailand telah memesan dua belas jet tempur JAS Gripen dari Swedia untuk memodernisasi angkatan udaranya yang sudah tua. Sedangkan Malaysia baru saja menerima dua kapal selam kelas Scorpene untuk ditempatkan di pangkalan angkatan laut di Kalimantan.

Oleh karena peningkatan senjata-senjata tersebut, Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Indonesia menduduki posisi ketiga importir senjata terbesar di Asia Tenggara pada 2016-2020 yang mana nilai impor senjata Indonesia mencapai 2,4 miliar SIPRI TIV atau 1,7% dari total impor di dunia dalam lima tahun terakhir. 

Vietnam sendiri menduduki posisi pertama sebagai importir senjata terbesar di Asia Tenggara dengan nilai impor mencapai 2,5 miliar SIPRI TIV atau 1,8% dari total impor di dunia pada 2016-2020. Sedangkan Singapura berada di urutan kedua dengan nilai impor sebesar 2,4 miliar SIPRI TIV atau 1,7% dari total impor global. Dan yang lainnya seperti Thailand dan Filipina yang proporsi impor senjatanya sebesar 1,2% dan 0,8% pada periode 2016-2020.

China Sebagai Pemicu?

Asia Tenggara merupakan tuan rumah dari enam negara yaitu Brunei Darusalam, China, Malaysia, Taiwan, Vietnam dan Filipina, yang mempunyai masalah maritim teritorial yang kompleks disebabkan keenam negara tersebut memiliki klaim atas kedaulatan yang tumpang tindih atas wilayah teritorial. 

Oleh karena itu, beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan modernisasi militer yang dilakukan oleh China menyebabkan terjadinya ketegangan sehingga membuat negara-negara kawasan yang merasa terancam seperti Indonesia, Brunei, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand memutuskan untuk ikut meningkatkan persenjataan militer mereka karena dianggap sebagai ancaman.

Menurut pengamat dari insiden ini menyebabkan terjadinya "Security Dilema" yang menyebabkan suatu negara mengambil tindakan untuk memodernisasi atau meningkatkan kekuatan mereka sehingga negara lain ikut melakukan tindakan yang sama dan akhirnya terjadilah suatu perlombaan untuk meningkatkan senjata. Hal itu dilakukan karena kekhawatiran dan ketidakpastian yang dilihat negara-negara sekitar atas tindakan China yang mungkin akan terjadi di masa akan mendatang.

Apakah ini berarti ada perlombaan senjata yang terbentuk di Asia Tenggara, terutama didorong oleh negara-negara yang merasa terancam oleh China? Belum tentu. Militer Filipina terkenal kekurangan dana untuk waktu yang lama, dan tenggelamnya KRI Nanggala yang menua di lepas pantai Bali tahun lalu menunjukkan bahwa, agresi China atau tidak, Indonesia perlu meningkatkan armada kapal selamnya. Apa yang kita lihat kemudian mungkin merupakan pertemuan beberapa hal, dengan negara-negara seperti Indonesia dan Filipina perlu memodernisasi angkatan bersenjata mereka dan menemukan diri mereka lebih termotivasi untuk melakukannya dalam keadaan saat ini.

Faktor kebijakan dalam dan luar negeri selain "faktor China" juga telah menentukan peningkatan senjata tersebut seperti: konflik teritorial yang berlangsung lama, gerakan revolusioner militan domestik dan pengaruh politik militer yang kuat. Bahkan jika tidak ada hubungan langsung yang dapat ditunjukkan antara perlombaan senjata dan meningkatnya kemungkinan pecahnya konflik kekerasan, ini tidak berarti bahwa Asia Tenggara memperoleh stabilitas melalui pembangunan senjata saat ini. 

Sebaliknya, ekspansi kuantitatif dan kualitatif kapasitas militer telah meningkatkan persepsi ancaman dan ketidakpercayaan di kawasan. Dalam konteks ini, Jerman dan banyak tetangganya di Eropa akan disarankan untuk memikirkan kembali peran mereka sebagai pemasok senjata pusat ke Asia Tenggara secara lebih strategis dan kritis. 

Jerman dan UE saat ini memandang perdagangan senjata dengan pelanggan Asia Tenggara terutama dari perspektif ekonomi. Namun, yang dibutuhkan adalah wacana politik dan strategis tentang dampak ekspor senjata mereka. Jerman dan UE saat ini memandang perdagangan senjata dengan pelanggan Asia Tenggara terutama dari perspektif ekonomi.

Dari data-data yang telah dijelaskan di atas dapat kita simpulkan bahwa memang negara-negara di kawasan Asia Tenggara sedang melakukan perlombaan senjata untuk meningkatkan pertahanan negaranya masing-masing akan tetapi yang memicu adanya perlombaan senjata tersebut bukan hanya diakibatkan oleh modernisasi militer China namun memang peningkatan tersebut dilakukan karena kebijakan-kebijakan pertahanan dari masing-masing negara yang memang sedang membutuhkan alat-alat militer tersebut bagi negaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun