Oleh karena itu, beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan modernisasi militer yang dilakukan oleh China menyebabkan terjadinya ketegangan sehingga membuat negara-negara kawasan yang merasa terancam seperti Indonesia, Brunei, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand memutuskan untuk ikut meningkatkan persenjataan militer mereka karena dianggap sebagai ancaman.
Menurut pengamat dari insiden ini menyebabkan terjadinya "Security Dilema" yang menyebabkan suatu negara mengambil tindakan untuk memodernisasi atau meningkatkan kekuatan mereka sehingga negara lain ikut melakukan tindakan yang sama dan akhirnya terjadilah suatu perlombaan untuk meningkatkan senjata. Hal itu dilakukan karena kekhawatiran dan ketidakpastian yang dilihat negara-negara sekitar atas tindakan China yang mungkin akan terjadi di masa akan mendatang.
Apakah ini berarti ada perlombaan senjata yang terbentuk di Asia Tenggara, terutama didorong oleh negara-negara yang merasa terancam oleh China? Belum tentu. Militer Filipina terkenal kekurangan dana untuk waktu yang lama, dan tenggelamnya KRI Nanggala yang menua di lepas pantai Bali tahun lalu menunjukkan bahwa, agresi China atau tidak, Indonesia perlu meningkatkan armada kapal selamnya. Apa yang kita lihat kemudian mungkin merupakan pertemuan beberapa hal, dengan negara-negara seperti Indonesia dan Filipina perlu memodernisasi angkatan bersenjata mereka dan menemukan diri mereka lebih termotivasi untuk melakukannya dalam keadaan saat ini.
Faktor kebijakan dalam dan luar negeri selain "faktor China" juga telah menentukan peningkatan senjata tersebut seperti: konflik teritorial yang berlangsung lama, gerakan revolusioner militan domestik dan pengaruh politik militer yang kuat. Bahkan jika tidak ada hubungan langsung yang dapat ditunjukkan antara perlombaan senjata dan meningkatnya kemungkinan pecahnya konflik kekerasan, ini tidak berarti bahwa Asia Tenggara memperoleh stabilitas melalui pembangunan senjata saat ini.Â
Sebaliknya, ekspansi kuantitatif dan kualitatif kapasitas militer telah meningkatkan persepsi ancaman dan ketidakpercayaan di kawasan. Dalam konteks ini, Jerman dan banyak tetangganya di Eropa akan disarankan untuk memikirkan kembali peran mereka sebagai pemasok senjata pusat ke Asia Tenggara secara lebih strategis dan kritis.Â
Jerman dan UE saat ini memandang perdagangan senjata dengan pelanggan Asia Tenggara terutama dari perspektif ekonomi. Namun, yang dibutuhkan adalah wacana politik dan strategis tentang dampak ekspor senjata mereka. Jerman dan UE saat ini memandang perdagangan senjata dengan pelanggan Asia Tenggara terutama dari perspektif ekonomi.
Dari data-data yang telah dijelaskan di atas dapat kita simpulkan bahwa memang negara-negara di kawasan Asia Tenggara sedang melakukan perlombaan senjata untuk meningkatkan pertahanan negaranya masing-masing akan tetapi yang memicu adanya perlombaan senjata tersebut bukan hanya diakibatkan oleh modernisasi militer China namun memang peningkatan tersebut dilakukan karena kebijakan-kebijakan pertahanan dari masing-masing negara yang memang sedang membutuhkan alat-alat militer tersebut bagi negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H