Mohon tunggu...
gurujiwa NUSANTARA
gurujiwa NUSANTARA Mohon Tunggu... Konsultan - pembawa sebaik baik kabar (gurujiwa508@gmail.com) (Instagram :@gurujiwa) (Twitter : @gurujiwa) (Facebook: @gurujiwa))

"Sebagai Pemanah Waktu kubidik jantung masa lalu dengan kegembiraan meluap dari masa depan sana. Anak panah rasa melewati kecepatan quantum cahaya mimpi" ---Gurujiwa--

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Punahnya Seribu Kunang Kunang Di Desaku

27 Mei 2021   02:51 Diperbarui: 27 Mei 2021   09:55 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Desa seribu kunang kunang...
Kemana mata memandang, hanya kerlipan hewan mungil kuning bercahaya, diatas hamparan sawah, di tubuh air sungai mengalir,  dan jalan berbatu desa. Meski tak terang sekal, Tapi cukup mwnerangi,  sampai tak ada yang terlalu peduli,  apa langit diatas desa kami masih bertebaran bintang bersinar atau tidak,  apalagi kehadiran bulan, sudah tak dianggap penting lagi.

Sudah beberapa waktu,  warga kampung kami,  mengabaikan purnama. Siapa masih perlu cahaya lagi,  bila kunang kunang yang kami punya, sudah begitu amat banyaknya ?.

Ini adalah bulan ketiga belas purnama  Tanpa bulan sungguhan di desa kami.  Biasanya di malam seperti ini, ribuan Kunang Kunang berkumpul, menari berputar. Membentuk durian raksasa menggantung  di kaki Langit,  bercahaya menyilaukan, mirip bulan mini imitasi. Semua senang, merasa terhibur dan tersanjung melihat cahaya istimewa itu.

Begitu bagusnya , bulan kunang kunang di desa kami menyerupai rembulan,  sampai tak ada yang sadar,  bulan sudah tiga belas purnama,  tak nampak di desa kami saat purnama.

Gadis-gadis bingung tak datang bulan.  Para pemuda lesu,  pujaan hatinya,  sering ngambek dan bad mood tanpa jefa. Entah kenapa gadis seisi desa pada  uring-uringan panjang tanpa sebab. Makin dirayu bukan makin sembuh,  justru semakin parah ngamuknya?!.

Belum lagi,  para istri, ibu-ibu petani yang biasanya ramah membiarkan suaminya menggarap sawah di kamarnya, saat bulan gelap.  Sekarang kompak menolak melayani  lembur malam .  

Para Suami pusing,   Petani yang rajin mencangkuli Sawah siang malam pun menjadi malas-malasan. Pada susah tidur sering berkumpul di pos ronda menghabiskan malam tak berujung. Mengeluhkan tentang sawah-sawah malamnya yang tak tergarap baik.

Akibatnya,  di pagi hari badan mereka lemah lunglai,  dan kurang bergairah karena begadang berbulan-bulan. Sawah jadi kurang terurus,  meski masih hijau menghampar, tikus,  belalang,  wereng mulai kelihatan menggerogoti diam-diam. Burung hantu pemburu pun pada malas berburu. Aneh?!.

Para lelaki yang biasanya rajin jadi lebih malas lagi. Gara-gara bulan purnama tak muncuk lagi di desa kami. Kunang kunang malah makin banyak memenuhi langit desa kami.

Tak ada yang sadar perubahan ekstrim di desa kami,  kecuali tetua desa kami,  bahwa bulan purnama sudah lama menghilang. Usianya bukan sepuh lagi,  bukan seratus tahun tapi sudah 377 tahun dia hidup, Namanya Ki Gerhana.

Hidup sebatang kara, dibatas desa dan Hutan Tutupan sana.  sudah tidak doyan makan nasi dan lauk. Hanya makan sepiring kunang kunang hidup,  seminggu sekali dan bunga tujuh rupa sesekali makan, buat cemilan.  Sudah tidak minum kopi dunia. Hanya air murni dari mata air sungau kecil yang mengalir dari bukit Burangrang sana.

Sedih dia melihat keadaan anak turun di desanya.  Setelah bertapa berapa lama, didapat peaan Dari leluhur bahwa dia harus membujuk sang bulan muncul lagi,  rupanya bulan cemburu berat dengan makin banyak dan makin genitnya Kunang kunang mengambil hati warga Kampung sini saat malam.

Dari percakapan telepati batin kelas bumi langit didapat kesimpulan,  Bahwa semua kunang kunang di kampung kami harus dibasmi. Baru sang  bulan mau muncul lagi kala malam, utamanya dikala purnama. Keadaan akan kembali normal bila  semua binatang bercahaya dibunuh sebagai gantinya.

Tak ada cara lain Ki Gerhana pun mulai makan kunang kunang berlipat kali banyak dari biasanya. Bila biasanya seminggu cukup sepiring kunang kunang hidup. Sekarang setiap waktu dari matahari tenggelam sampai terbit kerjaan sang kakek sepuh desa kami hanya makan binatang mungil bercahaya tanpa henti. Walau kenyang seperti apa, rasa muak pun dilewati demi keselamatan desa kami.

Cara makannya ajaib. Si kakek tidak memburu kunang kunang.  Dia punya piring mukjizat.  Hanya piring kaleng hijau yang amat tua. Tiap kali ditaruh di balai depan rumahnya. Kunang kunang yang sudah tua berebutan hingggap, menyerahkan diri untuk dinakan sang kakek,  begitu seterusnya. Asal sang kakek menaruh piring kosong, semua Kunang Kunang langsung memenuhinya.

Sudah seminggu perut sang kakek dipenuhi kunang kunang tua dan muda. perutnya membuncit amat besar ampai menyentuh tanah. Tapi demi kebaikan seisi desa,  sang kakek terus makan kunang kunang hidup saat malam tiba sampai menjelang pagi.

Hari ini tinggal. Kunang kunang kecil yang baru lahir dan bisa terbang. Semua berkumpul di  piring Ki Gerhana,   sang kakek yang  panjang umur.

Piring ini adalah suapan terakhirnya.  Sebetulnya Sang kakek yang waskita tidak tega menelan generasi terakhir binatang mungil itu, beliau tahu,  bila yang ada di piring dimakan tak bersisa. Maka kunang kunang langsung punah dari desanya.

Tapi mau bagaimana lagi. Meski berat harus dijalaninya. Bila tersisa satu piring kunang kunang anak anak pun.  Bulan tetap ngambek tak akan muncul di kampung kami,  selama seribu tahun ke depan .

Begitulah rasa cemburu bila  sudah mengurat mengakar,  akal sehatpun hilang,  putus kewarasan. Ki Gerhana,  sore tadi makan sepiring bayi kunag kunang terakhir,  tak tega dia,  tapi demi kebaikan desanya,  terpaksa dia lakukan. setelah kunang kunang habis di desa dimakannya. Benar bulan langsung muncul ceria,  langsung purnama. Terang benderang.

Ki Gerhana lega bukan kepalang. Dia bersyukur. Penduduk kampung Seribu Kunang Kunang pun bersorak girang. Semua gadis datang bulan dan para istri tak ada yang terlambat bulan lagi. pemuda kembali optimis menatap masa depan. Para bapak petani malam ini masuk kamar. Bersiap. menggarap Sawah kesayangannya. tak Ada Satur pun yang tersisa jaga di pos ronda..

Sementara tak Ada yang ingat  nasib Ki Gerhana. .  Malam ini Kunang Kunang di dalam perutnya hidup kembali. Semua berupaya keluar  dari tubuh sang kakek rwnta. Sekuat tenaga sang kakek menutup lubang di tubuhnya agar tak ada kunang kunang keluar dari tubuhnya. Lubang mulut, hidung, telinga juga anus dia tutup dengan tehnik pernafasan tingginya. Akibatnya sang kakek Kehabisan Nafas.

Mati tidak,  hidup juga tidak. Justru tubuhnya mengapung dibawa ribuan Kunang Kunang terbang, tubuh agungnya mengapung terbang jauh Ke  arah Hutan Tutupan masuk ke gua rahasia yang tak ada  tahu letak persisnya

Entah beliau wafat jadi makanan kunang kunang atau justru nenjadi manusia Kunang Kunang di Sana.  Tak ada yang rahu. Misteri.

Seiring kembalinya purnama di desa kami,  tak Ada Satu pun Kunang Kunang tersisa . Semua punah Karena pilihan simalakama Ki Gerhana,  sesepuh pertama kami,  kini Desa Seribu Kunang Kunang kami kehilangan ciri khasnya. Tak satu pun kunang kunang tersisa di kampung kami.

O, iya apa Pembaca bisa membantu sebaiknya desa kami yang kini bertabur cahaya bulan purnama ini,  kami beri nama desa apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun