Tepat hari ketujuh
Dalam rinai hujan tak berjeda
Kami berhasil. Mudik melewati
 penyekatan semu
Yang penjaganya menyerah
Dihempas dingin malam
Dan badai pertaruhan hati
Dan tumpahan air dari langit duka
Tak ada lagi senyum indahmu
Keramahan sederhana
Yang membuat rumah
Di tepi kebun pisang
Di tepi ketela pohon
Tepi tebing
Liukan sungai jernih berbatu,
Surga ikan
Lele 10 kilogram
Belut dan moa raksasa 7,6 kilogram
Yang oernah terpancing kakek
Jadi legenda pemancing modal tirakat,
Lalu kodok
Kelelawar liar, ramai berkelepak
Diatas permukaan dingin
Bening sungai waktu
Di Baros
Sukabumi
Tapi wujudmu tak ada
Setelah azan panjang dua kali
Cahaya jadi. Muadzin terakhir
Mengantar pergimu
Dan belahan jiwamu,
Cahaya anak kalian
Tersedak
Tersedu
Tidak ingin mengakhiri. Lafaz
Panggilan ibadah terakhir itu
Allahu Akbar
Allahu Akbat
.....
.....
Lailahailallah...
Betapa Cahaya ingin menahan
Alun lafaznya
Diujung lidahnya
Sepanjang mungkin
Selama mungkin
Sesyahdu mungkin
Sekencang kencangnya,
Ia tahu
Seesaat azan kuburnya berhentu,
Maka papan akan ditutup
Pusara ibu
Disempurnakan dengan tanah merah
Dan bunga
Dan kucuran air bening
Penghapus dahaga batin,
Inilah dua pusara
Yang Cahaya  azan-i  hari terakhir,
Kalau ini bukan duka terakhir
Bukan batu uji kedewasaannya
Kenapa sang Maha Orang Tua
Mengambil dua sayap pelindung
Terkasihnya,
Kenapa tidak sebelah sayap
Tapi kedua sayap penopang jiwa mudana,
Lalu bagaimana Cahaya bisa terbang?
Ke Kampung Agung
Rumah bersama
Dari tujuan mudik abadi
Insan bingung
Kehilangan arah
Di jaman serba materi
Menyesatkan ini
Kami
Tak dapat sajian teh tubruk
Wangi
Menggoda,
Senandung khasmu
Nadanya selalu bikin semua merindu
Saat adukan khas gula batumu Â
di cangkir coklat tanah
Teh poci legit, Â menggigit ingun
yang mengusir kabut dingin
Perjalanan ingin
Kami Mudik
tiba di kampungmu
Tapi saat masuk rumahmu
Engkau telah mudik lebih sulu
Melewati bilah bilah enerji
Keeinduan
Yang mengantar batin pulang pergi,
Kententraman
Keselarasan fikiran
Dengan harmoni alam
Adalah kenisayaan
Di Ramadan akhir jelang Lebaran ini
Sebwlum raya
Perayaan hati yang berbeda tanpa
Keluwesan kerjap mata tulus
Dan senyum tulusmu
Bukan emas permata lagi
Harta dunia yang kau sebut,
Dua hari jelang pulang
Jelang mudik abadi
Aku sudah kaya
Sangat kaya
Punya anak yatim
Punya lagu
Punya anak asuh penyanyi baru
Aku punya semuanya
Aku bahagia
Seperti katamu  sembilan hari lalu
Teh evie
Boleh aku tanya sesuatu
Apakah diseberang tabir dimensimu,
Engkau berjalan berdua
Cengkrama
Sendau gurau
Menertawakan polemik dunia
Karaoke berdua
Menyanyikan medley lagu
Evergreen
Hits bumi
Best seller album lagu langit,
Menyanyi sepenuh hati
Menyanyi bukan Karena job
Menyanyinkan pukau panggilan kalbu,
Bila hidup di Bumi untuk menyanyi
Lanjut ke panggung awan
Menyanyi
Memuja semesta cinta
Ini mudik berirama paling sendu
Bisa tembus blokade jalan
Tapi tak bisa bertemu wajah bening ayumu,
Aku menulis surat ini
Di balai kayu
Disamping kotak bayi ular sanca batik
Yang kemarin pagi
Datang mengetuk pintu
Di hari kepergianmu ketujuh
Apakah reptil lucu
Jinak ini
Membawa oedanmu
Bahwa semua baik baik saja disana
Semoga bahagia
Engkau disana
Didalam keabadian sejoli
Di mabuk cibta
Di portal keabadian sana
Sore tadi
Kami menyapa pusara merahmu
Mash kudengar jelas
Panggilan lembutmu
Maaaas....
Mu
Dan Harum kesturi
Wangi surga
Menyapa senja
Raya ini
Kami kehilangan dua sahabat hati terbaik
Yang memilih mudik dalam lebaran cinta
Tanpa henti
Di sana
Bila yang lain sedih tak bisa mudik,
Kami bisa mudik
Tapi disayat kelu
Sendu
Getir
Sebagai 0engantimu
Ijinkan aku
Memakai
Jepit rambut hitam kesayanganmu
Untuk menjempit rambut panjangku
Yang kuyup basah oleh air sungai
Dan basah hujan rindu
Tak terbayar
Tak terkata
Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H