Sst, jangan panggil Ibu keras - keras Nduk, nanti saudara - saudaramu curiga !", tekan Ibu kepada Lina, yang mata indahnya mulai berlinangan air matanya.
"Tapi kan Lina memang anak.kandungmu Bu, mereka saudara sekandung juga, adik - adik berhak tahu, apa yang...", protes perempuan Ayu berambut sebahu itu, kali ini matanya bersinar galak mirip macan dahan terluka gores, onak duri.
"Tidak, sebut aku Bude, sekali Bude tetap Bude, demi kebaikan Ibu kebaikan Pakdemu, juga kamu Nduk cah ayu, di hati Ibu kamu selalu jadi anak kandung kinasih, tetapi keadaan masih belum baik..", nasehat perempuan tua itu kepada perempuan paruh baya, di sudut teras depan yang sepi.
"Baik, kalau itu membuat Ibu senang, Lina akan patuhi, Lina hanya minta satu hal, selama 47 tahun ini, dan Ibu belum pernah memberikannya..", pinta Lina Terbata.
"Sudah Lina, sudah, soal Bapak kandungmu, ada dan masih hidup, tapi Ibu sudah menganggapnya mati. Tentara biasa mati tiap hari, perang dimana - mana", tukas Ibu ketus. Lina tergeragap kaget, kata kata ibunya seperti bilah belati tajam, menusuk cepat dan dalam ke hatinya.
Kali ini lidah Perempuan yang rahim hangatnya pernah menjadi tempat berlindungnya, saat masih embrio janin, lalu tumbuh sebagai bayi siap lahir, setelah ruh ditiupkan pada bulan keempat, sampai bulan kesembilan sepuluh hari, Lina terlahir sempurna, bagaimana bisa melupakan kehangatan intim berdua.
Bila semasa janin, Lina dan Ibu menyatu berbagi sari pati makanan bersama, menyatu sungguh dalam satu tubuh. Keduanya sama saling merasakan kehadirannya. Lina mungil, aman, nyaman, terlindungi didalam cairan kawah rahim, berenang, tidur dan makan sepuasnya dari tubuh sang Ibu. Sembilan bulan 10 hari, siang malam, keduanya terhubung tanpa jeda.
Sayangnya suratan berjalan tak searah dengan cita dan cinta mereka. Begitu Lina terlahir, perahu cinta Bapak ibunya kandas, membentur karang keras, hingga terbelah berkeping keping. Mereka cerai, dipisahkan tugas dan hilangnya enerji cinta dari pelukan keduanya. Lina sebagai bayi merah, hanya mampu menangis. Menangis keras sekali.
Bayi merah nan malang itu dipungut dalam asuhan saudara dekatnya, pasangan Pak Marjiyo. Sejak itu, ia diasuh dalam kasih sayang sepenuh lautan dan samudera. Meski hanya anak pungut, namun kasih sayang yang diberikan tak berbatas, layaknya Anak kandungnya.
***
Beranjak SMP, Lina yang tumbuh sebagai gadis yang sehat dan lincah, Â kulitnya kuning langsat, pintar menari dan menyanyi keroncong. Rambut panjangnya dipelihara, tanpa pernah dipotong, paling hanya dirapikan di ujung ujungnya saja, melengkapi pesonanya. Wajah ayunya, keluwesan gaya serta tata bicaranya, membuat Lina selalu jadi idola dimana mana.