Ketika Pandemi berkunjung ke Indonesia, saya berfikir akan cuma sekedar singgah, membuat sedikit rusuh hati. Lalu pergi.
Ternyata dia betah tinggal disini, juga di ratusan negeri di bumi, saat ini. Kalau ada yang terus bilang, bahwa Corona adalah ilusi, konspirasi, mungkin mereka kebanyakan ngopi campur rempah memabukkkan, tapi sudahlah, ini masa prihatin. Tidak waktunya debat kusir.
 Saya hadir disini. Membuka hati. Membuka topeng kepuraan-puraan diri, demi katarsis diri, melepas sumpek dan ketakutan akan hari esok.Â
Bukankah kita memiliki phobia bersama soal datangnya kiamat kecil, dalam serbuan virus covid 19 yang ukurannya, begitu kecil, mili mikron, tak terlihat, sampai kita harus memakai masker menyebalkan ini.
Dampak lainnya, kita jadi sulit saling membalas senyum. Paling hanya saling mengerdikkan alis. Lalu kepalan kita saling beradu, ala petinju.
Satu - satunya senyum yang tersedia di rumah adalah senyum pasangan kita. Sayangnya sejak pandemi menyerbu sekitar rumah, senyum yayang tersayang kerap dingin dan penuh kecemasan.
Bayangkan saja, kami harus menjaga tiga buah hati dengan karantina di rumah dari kemungkinan penularan. Padahal hanya sepelemparan batu, dua tokoh komplek kami terkena corona.
Satu anggota DPRD dan yang satu lagi tokoh super kaya dan dermawan.
Bagaimana tidak paranoid situasi kami. Dua orang tokoh tersebut sangat akrab,lebih dari.sahabat, saya sering ngopi menghabiskan malam dan berkendara dengan keduanya dalam kesempatan berbeda ke tempat klangenan kami, cilakanya
tanpa masker kemana - mana. Maklum masih periode awal pandemi.
Setelah resmi keduanya dirawat, di isolasi di Rumah Sakit khusus Covid 19, bergantian, baru saya tersentak bahwa Covid sudah di depan mata. Istri pun mengalami gejala sesak nafas yang berkelanjutan setiap malam. mukanya pias dan penuh kecemasan dengan nasibnya, juga kasih sayang ke anak anaknya bkla terpaksa dirawat dalam isolasi baik mandiri maupun RS.
Maka dengan penuh keprihatinan kami mendatangj RS untuk rapid Tes. Hasilnya non reaktif !. Sementara untuk bertemu dengan tindakan medis lain, kami menghindari antrean di RS.Â
Pilihan satu - satunya adalah dengan meningkatkam daya tahan tubuh, satu vitamin yang kami pilih adalah vitamin herbal Nu-Vit, MCI. Harganya memang lumayan ajib. Tapi hanya minum dua minggu. Kondisi istri bugar seperti sediakala.
Alhamdulillah, sementara kami aman. Tapi belum tentu.kedepannya, semoga kita aman. Saling berdoa ya...
Nah, dinamika sergapan teror pandemi global tidak berhenti di ketakutan kami saja. Tapi jelas berdampak pada ekonomi keluarga. Saat saya memdapat peluang pekerjaan ke Pontianak , Kalimantan, bersama dua orang rekan sejawat.
Istri keberatan sekali saya berangkat, entah kenapa. Padahal di masa muda, hobi saya keliling pulau - pulau kecil Indonesia, tidak pernah dicegahnya.
Semoga karena rasa sayangnya, yang sudah makin menggunung. Ternyata, lebih karena takut ditinggal saat sebaran pandemi begini. O, la la...
Mungkin karena ketakutan tak jelas, dan tubuh kurang istirahat , meski dicoblos di pangkal lengan, kiri kanan sampai tiga kali. Aneh bin ajaib, darah tidak keluar barang setetes juga. Tidak cuma istri tetapi tubuh saya juga tidak mengijinkan pergi.
Saya gagal tes rapid, karena tidak ada darah yang keluar, saya tersenyum dalam hati. Dua sejawat akhirnya berangkat pergi, tanpa saya..
Kesempatan mengisi pundi pundi dengan fulus lebih, sirna. Menyingkir begitu saja. Kalau tidak ada pandemi, saya selalu berhasil naik wahana pesawat, kapal, juga kereta. Bahkan bila bangku penuh, saya terbiasa menunggu sampai menit terakhir. Biasanya selalu ada kursi cadangan yang mendadak kosong. Saya selalu beruntung, tapi kali ini tidak. Lagi lagi gara gara korona.
Pusing juga, melihat kesempatan panen raya, tercabut dari genggaman saya. Saat blokade udara baru saja dibuka, di kota - kota besar negeri kita.
Untunglah, fulus istri terus.mengalir, dari bisnis MLM bioglasnya. Jadi defisit berjalan kami masih bisa tertutupi. Perahu dapur tidak jomplang tenggelam.
Berbagi peran, saling mengambil kemudi dan komando disaat krisis, menyambut datangnya era baru. Mau tidak mau kita harus membuat definisi baru tentang gender, relationship partnership.
Pelajaran apa yang bisa kita petik saat pandemi begini :
Saling percaya pada pasangan sampai level tertinggi
Seperti mie pedas, atau cemilan pedas dari level 1 sampai 13, percayalah insting, naluri, firasat pasanganmu disaat kepungan penyakit , isu, resesi gara - gara pandemi begini.
Dari pengalaman dalam aneka krisis petualangan di laut, gunung, gua ataupun hutan, Â biasanya patner yang selalu bisa diandalkan adalah mereka yang percaya sepenuhnya kepada kita. Kenapa demikian, karena keselamatannya, kebenaran arah perjalanan, kenyang laparnya saya, tergantung patner jalan yang fokus pada segala pernak - pernik peralatan, sementara saya memandu, menentukan arah perjalanan grup petualang itu.
Meski ekstrim, penuh adrenalin, menyintas tantangan, kehadiran  patner seiring, biasanya untuk satu kali trip ekspedisi saja. Pada kali lain berganti grup lain
Istri, pasangan kita berbeda, dalam cuaca penuh badai atau sejuk, terang benderang. Ia selalu ada, setia ada disamping. Bila dalam perjalanan rally mobil, pasangan kita ada navigator kompeten handal. Yang selalu mencarikan rute paling aman. Diluar itu, dia adalah makhluk yang paling tahu letak rumah dengan rute tersingkat. Aha !
Bila anda merasa penuh intuisi, peka pada firasat dan bisa membaca tanda tanda alam. Dalam masa pandemi yang sulit ini, percayai , hargai patner yang sudah teruji, saling mengandalkan, belahan jiwa sesungguhnya.
Bila kabut menyungkup pandanhan mata saat tracking di areal sulit tak terpeta. Genggamlah jemari pasangan anda, saling menguatkan, berbagi beban. Sambil terus melangkah, maka akan sampai di tujuan tidak sekedar selamat tetapi juga bahagia.
Lalu kapan kita mulai bahagia ?
Jangan tunggu besok !
Jangan tunggu sampai pandemi minggat pergi dari bumi diusir vaksin yang segera jadi dan matang. Jangan !
Bahagialah sekarang
Dengan apa yang masih ada di tangan, tangan yang saling menggenggam.
Berbahagial dan bersyukurlah atas nikmat sehat, rejeki dan kelengkapannya, atas apa yang sudah-sedang-akan terima.
Bukankah pandemi ini sudah mengajarkan pada kita, bahwa ketahanan lair batin keluarga adalah kunci segalanya.
Dimulai dengan saling tersenyum dengan pasangan sejati, tanpa saling menyalahkan, bersyukur, dan bahagia tanpa syarat !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H