Alhamdulillah, sementara kami aman. Tapi belum tentu.kedepannya, semoga kita aman. Saling berdoa ya...
Nah, dinamika sergapan teror pandemi global tidak berhenti di ketakutan kami saja. Tapi jelas berdampak pada ekonomi keluarga. Saat saya memdapat peluang pekerjaan ke Pontianak , Kalimantan, bersama dua orang rekan sejawat.
Istri keberatan sekali saya berangkat, entah kenapa. Padahal di masa muda, hobi saya keliling pulau - pulau kecil Indonesia, tidak pernah dicegahnya.
Semoga karena rasa sayangnya, yang sudah makin menggunung. Ternyata, lebih karena takut ditinggal saat sebaran pandemi begini. O, la la...
Mungkin karena ketakutan tak jelas, dan tubuh kurang istirahat , meski dicoblos di pangkal lengan, kiri kanan sampai tiga kali. Aneh bin ajaib, darah tidak keluar barang setetes juga. Tidak cuma istri tetapi tubuh saya juga tidak mengijinkan pergi.
Saya gagal tes rapid, karena tidak ada darah yang keluar, saya tersenyum dalam hati. Dua sejawat akhirnya berangkat pergi, tanpa saya..
Kesempatan mengisi pundi pundi dengan fulus lebih, sirna. Menyingkir begitu saja. Kalau tidak ada pandemi, saya selalu berhasil naik wahana pesawat, kapal, juga kereta. Bahkan bila bangku penuh, saya terbiasa menunggu sampai menit terakhir. Biasanya selalu ada kursi cadangan yang mendadak kosong. Saya selalu beruntung, tapi kali ini tidak. Lagi lagi gara gara korona.
Pusing juga, melihat kesempatan panen raya, tercabut dari genggaman saya. Saat blokade udara baru saja dibuka, di kota - kota besar negeri kita.
Untunglah, fulus istri terus.mengalir, dari bisnis MLM bioglasnya. Jadi defisit berjalan kami masih bisa tertutupi. Perahu dapur tidak jomplang tenggelam.
Berbagi peran, saling mengambil kemudi dan komando disaat krisis, menyambut datangnya era baru. Mau tidak mau kita harus membuat definisi baru tentang gender, relationship partnership.
Pelajaran apa yang bisa kita petik saat pandemi begini :