Kutipan dari pandangan George McTurnan Kahin (1952), yaitu:
"Usaha paling awal yang terpenting dalam bidang pendidikan dalam rangka Kebangkitan Nasional dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini, putri muda seorang bupati Jawa. Beliau merasa bahwa kondisi rakyatnya dapat ditingkatkan melalui pendidikan yang mengandung unsur-unsur baik kebudayaan Barat maupun Indonesia. Dengan mendirikan sebuah sekolah bagi putri-putri kaum pejabat Indonesia pada tahun 1902, beliau memberi dorongan pertama bagi pendidikan wanita yang modern." (Soeroto & Soeroto 2011: 357).Â
Dampak yang berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat kala itu adalah perkembangan pendidikan yang diperuntukan bagi kaum perempuan dan juga kesadaran mengenai permasalahan perkawinan pada saat itu. Banyak perubahan yang berlaku dari tahun 1904-1914, salah satunya ialah perubahan peraturan kolonial mengenai penerapan politik etis. Kebijakan tersebut berdampak pada terbukanya jalan untuk pemikiran Kartini.
Setelah terbitnya buku Door Duisternis Tot Licht pasca kematian Kartini tanpa diduga orang-orang Belanda menyukai buku ini dan mulai bersimpati dengan kehidupan perempuan Jawa, dari situ maka lahirlah ide untuk meletakkan asas pendidikan bagi perempuan pribumi. Ratu Belanda menanggapi ide tersebut dengan menunjuk Abendanon untuk mengatur pendirian yayasan pendidikan perempuan. Abendanon bersama anggota komite yang dibentuknya berhasil mendirikan sebuah yayasan untuk mengembangkan pendidikan bagi perempuan pribumi yang diberi nama Yayasan Kartini (Kartini Vereeniging) dan berdiri secara resmi pada 22 Agustus 1912 dengan Van Deventer sebagai pimpinannya. (Hapsari, 2017:76-80).Â
Surat-surat Kartini yang ditulisnya semenjak tahun 1899 hingga 1904 berjumlah lebih dari seratus buah. lsi suratnya menyampaikan kritik terhadap perilaku Belanda dengan sistem kolonialnya yang menindas dan eksploitatif; terhadap tradisi yang memasung wanita dan menekan rakyat, terhadap sistem kekeluargaan bangsawan Jawa yang formal dan kaku, dan terhadap mentalitas bangsawan yang hanya memikirkan diri sendiri.
Dalam salah satu suratnya, Kartini menyatakan pandangannya tentang makna adat, yaitu aturan dan tatacara yang dibuat oleh manusia, oleh karena itu, dapat diubah oleh manusia pula. Kartini berpendapat, karena adat itu relatif, maka tidak ada salahnya menyederhanakan beberapa adat yang kurang praktis. Ia menghapuskan beberapa prosesi pada upacara pernikahannya dan adat yang menyebabkan hubungan kekeluargaan terasa kaku dan formal untuk saudara-saudaranya yang lebih muda.
Kartini berkorespondensi dengan pemuda Bumiputera untuk bertukar pikiran, yang pada zaman itu melarang komunikasi laki-laki dan perempuan di luar rumah. Para gadis, sesungguhnya, tidak patut tampil di muka umum pada setiap acara perkawinan, namun Kartini dan Rukmini muncul juga untuk menyaksikan perkawinan Kardinah. Itulah sebabnya, Kartini gigih memajukan pikiran rakyatnya (modernisasi) agar mampu merasionalisasi tradisi yang mengekang kemajuan.
Gerakan perjuangan emansipasi kerap muncul di tengah-tengah perubahan sosial yang berlangsung cepat, sehingga menimbulkan masa transisi atau peralihan. Masa ini memperlihatkan adanya pengenalan budaya atau sistem sosial yang baru sementara budaya dan sistem sosial yang lama belum menghilang. Gerakan serupa itu juga sering terjadi pada masyarakat dan budaya yang masih memiliki aturan-aturan yang membedakan dan timpang, baik secara vertikal seperti status dan kelas, maupun horizontal sebagaimana antar gender dan ras atau etnis. Tidak jarang, gerakan menuntut persamaan hak itu yang bermula dari sosial budaya merembet ke ranah politik hingga menjadi perjuangan kemerdekaan, selain menciptakan separatisme.Â
Maraknya praktik poligami dan perjodohan anak dibawah umur yang terjadi di kalangan masyarakat Jawa kala itu jika dikaitkan dengan realita yang menunjukan dampak dari adanya praktik ini bagi nasib perempuan sungguh memprihatinkan. Kritik yang dilakukan Kartini bisa dianggap membuka kekritisan dalam pola berpikir bagi para perempuan generasi selanjutnya untuk melawan kebiasaan tersebut. Puncak dari gebrakan ini terjadi pada tahun 1937 ketika dibentuknya Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia. Komite ini merupakan hasil dari pertemuan tanggal 16 September 1937 yang dihadiri oleh beberapa perwakilan organisasi perempuan di Jawa. (Amini, 2016:57)
Relevansi Dunia Barat dalam Pemikiran dan Surat-Surat R.A. Kartini
Selama masa dipingit, Kartini merasakan hidup dalam 'kegelapan' hingga ketika beliau bertemu dengan buku dan segala macam bacaan yang diberi oleh ayahanda Bupati Sosroningrat dan kangmas Raden Mas Pandji Sosrokartono. Ketika beliau berada dalam suasana tercerahkan, sadarlah beliau bahwa kunci kepada dunia pengetahuan yang luas itu tidak lain dan tidak bukan adalah bahasa. Dengan bahasa Belanda yang dikuasainya membuat Kartini tidak lagi hidup di dalam alam tradisional yang baginya gelap gulita, melainkan sudah masuk ke dalam alam pikiran Barat. Dengan demikian, tidak ada lagi penghalang yang membuat dirinya tidak sederajat dengan Belanda. Sesungguhnya, Kartini telah mengalami emansipasi, kebangkitan kesadaran akan hak dan persamaan derajat sebagai manusia termasuk dengan bangsa Belanda, dari situ beliau kemudian mampu melaksanakan kewajiban hakiki dalam posisinya sebagai pamong rakyat, bahkan pemikir (Pramoedya, 2003:113).Â