Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warnet Kartika

1 Juni 2023   19:31 Diperbarui: 1 Juni 2023   19:57 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asik bermain Game dari Android. Gambar Dokumen Pribadi Saufi Ginting

Saat menjadi guru Bahasa Inggris di Madrasah Aliyah Muhammadiyah 2 Kisaran, sekira tahun 2008, aku memberikan ilmu tak hanya tentang Bahasa Inggris saja. Kuajari anak-anak itu dengan ilmu lain, ilmu komputer. Belajarnya tak di sekolah.

Setiap hari Ahad pagi kuminta kesepakatan dari mereka yang mau ikut. Di warnet namanya. Kepanjangan dari Warung Internet. Saat itu, satu-satunya warnet yang belum terkontaminasi dari ramainya anak-anak remaja bermain 'game online' sepengetahuanku cuma 'Warnet Kartika'. Warnet ini langganan untuk mencari ilmu serta tempat aku ber-semedi untuk mengirimkan tulisan-tulisan ke media koran dan majalah nasional.

Aku tak minta pembayaran dari aktivitas yang kulakukan. Hanya prihatin saja, sebab saat itu aku hanya berprediksi bahwa sekian tahun ke depan, teknologi sudah tak dapat dihindarkan. Sementara, di madrasah, saat kutanya anak-anak, tak pernah belajar ilmu komputer, belum ada komputernya. Begitulah, keberadaan komputer di sekolah tempat aku mengajar masih mahal adanya.

Di warnet kartika, kuajari mereka cara menggunakan email, mengirimnya, dan ilmu-ilmu dasar lainnya yang aku tahu. Lantas biaya warnetnya, anak-anak itu yang tanggung. Saat itu sekitar 3.000 perak per jamnya. Maka, aku minta mereka bagi dua untuk biayanya. Walhasil, setiap minggu pagi, seluruh unit komputer di Warnet Kartika itu penuh oleh kami saja.

Begitulah caraku belajar dan memberi ilmu. Meski gaji tak seberapa saat mengajar sebagai guru honor, tetap aku harus memberikan yang terbaik. Mengapa kusebut tak seberapa, tentu tak hanya bahasa Inggris yang ku ampu, di sekolah berbeda aku mengajar kewirausahaan, serta kesenian, bahkan Bahasa Indonesia. 

Dari pagi hingga petang, dari Senin hingga Sabtu, honor yang diperoleh tetap memeras kekhawatiran. Belum lagi dipotong biaya kemalangan, kesakitan, dan kebahagiaan, setiap bulan, dan dari setiap tempat yang berbeda itu, ada pula potongannya. Memang seharusnya bahagia untuk berbagi, tapi apalah daya, masa itu honor yang ala kadarnya, rasanya menyesakkan dada, menjelang teken amprah, yang diterima tak seberapa. Sekedar kepengen teh manis dingin dari kantin pasca mengajar saja, tak berani untuk dibeli. Aih..

Alhamdulillah, sekarang kulihat teman-teman yang telah lama jadi guru, sarat kebahagiaan. Bahkan sudah banyak yang jadi pejabat seperti kepala sekolah.

Kembali ke pelajaran gratis ilmu komputer yang kupelajari secara otodidak itu, tentu menjadi catatan baik bila kubagikan secara percuma. Anak-anak terlihat antusias. Bahkan aku belajar banyak pula dari mereka. Salah satunya adalah saat aku mengenalkan sama mereka media sosial Friendster. Padahal, masa itu sudah mulai mellep/redup. Tak apelah dari pada media sosial mIRC yang sudah lebih jadul. Nah, yang kenal dengan dua media sosial di atas, berarti...?

"Pak, gimana cara buat FB?" Tanya salah satu siswa perempuan.

"Apa itu FB?" tanyaku

"Ish, masak Bapak ga tahu, facebook Pak!".

Ya, masa itu, fb baru ngetren. Aku pun belajar menggunakannya, dan pekan depan kuajari mereka. Meski pengajaran ilmu komputer ini tak lama, setidaknya ada usaha yang pernah kulakukan. Ada banyak hal lagi yang kudapat dari mereka. Kendalanya memang pada kendaraan anak-anak, rumahnya yang dari Mutiara, tentu jauh untuk ke Warnet Kartika yang lokasinya di depan Rumah Sakit Umum Kisaran itu.

Selain ilmu yang kudapat, kebahagiaan lainnya pasca mengajar di warnet itu, dikasih teh botol gratis sama pemilik warnetnya. Sebagai ucapan terima kasih untuk mengenalkan anak-anak pada warnet kartika yang masih bertahan dengan nilai edukasinya.

Di warnet ini pula, aku banyak menemukan teman-teman pewarta yang sibuk mengirim berita ke koran yang diampunya. Bahkan sejumlah dosen sering mangkal di sini. Memang saat itu, untuk punya jaringan internet sendiri, masih mahal biayanya. Bahkan untuk membeli sebuah modem portabel, yang berbentuk flash-disc saja, harganya sudah hampir satu jutaan, belum lagi biaya paket internetnya bisa mencapai 50ribuan per 3 hari. 

Ah, luar biasa itu. Susahnya kalo dicolok ke komputer, modem aktif, listrik padam seharian, modem itu tetap menyerap data, begitu listrik hidup, dihidupkan paket yang 50ribu itu pun habis sia-sia. Tak terkatakanlah. Saat itu, teknologi modem internet masih belum bisa langsung off sendiri, harus secara manual. Jadi meski bila mati listrik, ya tetap hidup dan tetap terkuras data paketnya.

Sekarang, teknologi ini semakin luar biasa. Siapa saja bisa menggunakan internet dan dengan biaya yang murah saja.

Oh ia, Madasarah Aliyah Muhammadiyah 2 - nya sekarang sudah kereen lo. Akreditasi A juga. Yuk daftar ke situ saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun