Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Namaku Za (Bab 2)

31 Januari 2022   21:15 Diperbarui: 31 Januari 2022   21:17 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah diam. Mamak tak melanjutkan. Aku tetap punya jatah menumpang nonton televisi di rumah Wak Beti setelah salat Ashar. Itu waktu yang diizinkan mamak bukan ayah, dan itu pula waktu keluarga wak Beti ada di rumah. Tapi hebatnya wak Beti memiliki waktu libur, setiap hari Jum'at tak pernah berangkat jualan ke pajak. 

Selang dua hari mamak merayu ayah kembali untuk membeli televisi. Jawaban tetap sama dari Ayah. Dua hari kemudian, kembali mamak merayu, tetap tak ada persetujuan. Dua hari selanjutnya juga begitu. Hingga genap dua pekan, tepatnya hari Jum'at pukul 13.00, saat ayah masih belum pulang dari salat Jum'at --biasa setiap Jum'at ayah kembali ke rumah pukul 14.30, karena ayah bendahara badan kemakmuran masjid, jadi harus menghitung, mencatat seluruh pemasukan dan pengeluaran selama Jum'at semalam sampai Jum'at ini-, wak Beti datang mengantarkan televisi ke rumah.

Aku gembira, aku bahagia, menonton televisi tak mesti kulakukan pada pukul 16.00, dan menumpang di rumah Wak Beti. Remote control kupencet tak henti-henti. Terus mencari siaran yang kusenangi.

"Loh, ada televisi? Sejak kapan?" Aku terkejut melihat ayah sudah berdiri di belakangku, masih memakai peci.

"Tadi diantar Wak Beti, Yah. Terimakasih Yah, udah dibelikan televisinya." Aku tak konsentrasi terhadap pertanyaan ayah. Kukira ayah bertanya kapan datang televisinya.

Ayah hanya tersenyum mendengar jawabanku, dan berlalu menuju kamar. Selang beberapa menit, mamak keluar dari kamar dengan tergopoh-gopoh, memintaku mematikan televisi. Kata mamak walau ada televisi di rumah, jadwal menonton seperti biasa, dari pukul 16.00 sampai 17.00 saja. Bedanya di rumah sendiri, tak di rumah Wak Beti.

Ternyata dua hari kemudian aku baru tahu kalau mamakku dimarahi ayah, sebab membeli tanpa sepengetahuannya. Mamak bilang demi anak kita.

"Demi anak bukan memanjakan Zakiyah dengan televisi. Tapi harus banyak membaca, dan rajin mengulang bacaan Al-Quran!" Suara ayah meninggi, aku bisa mendengarnya dari ruang kamarku yang bersebelahan dengan kamar ayah dan mamak.

Aku segera bersembunyi di balik selimut, sangat takut. Ayah tak pernah meninggikan suaranya kepada mamak. Tak hanya aku, mamak juga begitu. Kikuk dan takut.

Aktivitas menontonku terus kulakoni, hingga dua bulan. Kupikir ayah sudah reda amarahnya, tetapi tidak. Setiap kali aku menonton televisi di luar jam wajib, ayah masuk kamar atau ke dapur mencari mamak, tak lama mamak tergopoh-gopoh mematikan televisi dan memintaku untuk segera beranjak dari tempat duduk di depan televisi.

Sekitar lima bulan yang lalu, saat aku sedang bermain gasingan dari sisir, ya dari sisir rambut. Kau tahukan sisir rambut? Sisir rambut yang aku punya itu ada pegangannya dan berlubang. Aku memasukkan jari telunjuk kanan pada lubang pegangan sisir, kemudian kuputar-putar hingga seperti gasing. Ternyata semakin kencang diputar, sisir melompat dan menabrak televisi yang tergantung di dinding. Kaca televisi retak, membentuk belahan dari atas ke bawah, yang mengakibatkan televisi hanya bisa mengeluarkan suara tanpa gambar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun