Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Imlek dan Kenangan pada Lelaki yang Pernah Gagah

27 Januari 2022   10:46 Diperbarui: 27 Januari 2022   10:52 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aneka aksesori Imlek 2022. Foto diambil di Toko Sumber Murah Jl. Cipto Kisaran. Dokumen Pribadi

Dan, lebih luluh hati ini mengenang kembali, ternyata buah itu diberikan untuk jatah ayah yang harusnya dimakan bersama di tempat kerja, tapi beliau simpan, teringat pada kami anak-anaknya yang banyak. Meski hanya 1 buah apel, prinsipnya ayah ingin kami mencicipinya walau cuma sepotong. 

Setidaknya ketika orang bercerita tentang buah apel, anggur, kelengkeng, kami sudah pernah melihat, merasakan, itulah kehangatan yang selalu diajarkan ayah untuk kami, puluhan tahun lalu. 

Sekarang pun, aku mengajarkan demikian pada anak-anak, meski bedanya kami sudah mampu membeli buah-buahan itu, prinsip berbagi dan merasa yang diajarkan ayah, kuajarkan pula pada cucu-cucunya. 

Menjelang perayaan imlek begini, ayah selalu pulang membawa kue keranjang. Tapi kami lebih sering menyebutnya kue bakul. Itulah kue terenak yang saban tahun kami makan, rasanya manis, legit, dan sampai sekarang aku selalu bertanya sama mamak, Mak, tak ada kue bakul dari toke ayah? Aih. Padahal aku bisa membeli sendiri di penjual roti, sebab sudah banyak yang menjualnya sekarang.

Setidaknya bukan karena kepingin memakannya, tapi lebih dari mengingat betapa mengerat dengan gigi, masuk ke kerongkongan, kue bakul itu mengingatkan aku akan perjuangan ayah, yang saban hari bekerja dengan toke nya. Kenapa kutanya sama mamak kue bakul itu? 

Setiap tahun, toke ayah itu tak pernah lupa untuk memberikan kue bakul itu pada emak. Meski ayah sudah tiada. Mungkin begitulah prinsip berbagi dan bersyukur dalam merayakan kebahagiaan mereka.

Hingga ayah sudah tak sanggup bekerja karena sakit, berulang kali terjatuh dari pekerjaannya, keluarga kami masih saja disubsidi oleh toke ayah. Diberikan jatah beras setiap bulan, dan diminta menjaga rumah dan ladang punya toke Ayah, agar ayah mendapatkan penghasilan dari ladang yang diolah. 

Hingga hari ini, Emak, meski ayah telah tiada, masih dipercaya tinggal di rumah itu. Sambil mengelola ladang yang dipinjamkan oleh toke ayah. Emak menanaminya dengan aneka bunga, dan umbian. 

Bunga dijual untuk aneka perayaan dan ibadah, baik untuk warga Tionghoa sebagai sarana sembahyang, ziarah kubur, atau keperluan lainnya.  Betapa kebaikan toke ayah, tak pernah terlupakan.

Kebahagiaan yang tak boleh terlupakan dari mengenang lelaki yang pernah gagah di rumah kami adalah urusan membeli pakaian. Di depan kedai tempat ayah bekerja, ada Tionghoa lain yang berjualan pakaian. 

Ayah yang sejak muda sudah bekerja dengan Tionghoa, sangat fasih berbahasa mereka. Ini menjadi ingatan tersendiri. Pernah satu hari, pas masa SMA, aku terpilih dari sekolah untuk dikirim ke Jogjakarta. Anak kampung yang berprestasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun