Jujur, aku sudah lama sekali kepengen jadi penulis. Setidaknya menuliskan apa saja yang aku pikirkan dalam sebuah tulisan yang bagus. Katanya menulis itu adalah catatan sejarah, sehingga orang bisa mengingat meskipun raga sudah tak lagi di dunia. Atau bisa juga menjadi amal jariah, apabila tulisan itu memang menjadi inspirasi yang dapat mengubah hidup seseorang. Sebut saja misalnya ustadz Faudzil Adzim, yang tulisannya banyak sekali. Di antaranya perihal menjaga keluarga sampai ke surga.
Bayangkan bila apa yang dituliskan menjadi catatan baik bagi seseorang, menjadi panutan dan teladan baik bagi pembaca hingga ia dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan Tere Liye pun yang seorang penulis novel, selalu berusaha menuliskan kebaikan atau ibrah baik yang bisa diambil pembaca. Tak pernah dalam tulisan novel-novelnya kisah pemabuk, perokok, penjudi, penzina. Ia menghindari itu. Karena baginya tulisan adalah dakwah.
Sementara aku, sampai hari ini belum bisa menciptakan amal jariahku sendiri melalui tulisan. Karena menulis ini sebenarnya bagian dari cita-citaku sejak dulu. Meski dalam menciptakan amal jariah itu ada berbagai macam caranya, tapi rasanya menciptakan amal jariah melalui tulisan rasanya kok sulit sekali.
Tadi pagi, pukul 6 lewat 5 WIB, aku baru saja menuliskan 1.000 kata di laptop. Sekarang pukul delapan lewat empat puluh tiga, aku menuliskan ceritaku di komputer. Setelah kulewati 1.000 kata, aku menyimpulkan bahwa menulis itu bukan meramal apa yang akan terjadi pada masa depan. Tapi menulis itu, apa yang sudah kita lakoni dalam kehidupan.
Proses lakon dalam kehidupan ini ada bermacam-macam, di antaranya kita memang menjalani kehidupan itu seperti selesai makan, mengendarai kendaraan, melihat pemandangan, naik kereta api, itu adalah lakon pertama yang dapat dituliskan dalam sebuah tulisan. Lakon kedua adalah apa yang orang alami tapi kita melihat dan merasakannya. Hingga kita bisa menuliskannya dalam bentuk tulisan.
Lakon ketiga yaitu apa yang sudah kita baca, mau novel, buku agama, atau buku pelajaran. Khusus lakon ketiga ini, sesungguhnya banyak orang yang kesulitan melakukannya, sebab lakon pertama dan kedua memang telah berjalan dan tetap akan berlangsung dalam kehidupan kita.
Lakon ketiga, untuk proses membaca orang masih sulit dan enggan untuk melakukannya. Termasuk aku. Intensitas membaca masih terbilang rendah, setelah membaca untuk memahami dan menceritakan ulang melalui lisan saja masih susah. Konon pula menceritakan dalam bentuk tulisan.
      Â
Lakon ketiga ini adalah bagian terpenting untuk menciptakan sebuah cerita yang diluangkan dalam sebuah tulisan. Aku akan bisa menulis karena pernah dan sudah melihat contoh penulis-penulis dalam menulis bukunya. Begitu pula penulis buku-buku tersebut sanggup menulis karena ia sudah membaca ribuan buku penulis-penulis sebelumnya. Hingga secara teori sebenarnya menulis itu adalah kesinambungan -estafet- semakin banyak yang dibaca, semakin banyak yang ditulis, bukan sekedar semakin banyak yang dicakapkan.
Sebenarnya ketiga lakon ini, dalam teori lain juga bisa disebut membaca tekstual dan kontekstual. Tekstual artinya membaca apa yang sudah tercetak, seperti buku. Kontekstual artinya membaca apa saja dalam kehidupan seperti lakon pertama dan kedua yang kusebutkan tadi.
Tere Liye misalnya dalam sebuah pelatihan kepenulisan menjelaskan bahwa bertanya dan mendengar cerita dari orang-orang yang banyak pengalaman akan bisa dituliskan. Meski objek kita bukan memiliki pendidikan tinggi, tapi punya pengalaman tinggi. Tanya satu pertanyaan, dia akan menjawab seribu jawaban.
Masing-masing lakon tentunya punya kelebihan dan kekurangan, lakon pertama misalnya, berpotensi untuk menceritakan kisah perjalanan kita menjadi sebuah perjalanan, hingga menjadi sebuah otobiografi walaupun dikisahkan dalam berbagai versi penulisnya. Tapi berpotensi untuk mengenang masa lalu yang sebenarnya harus dibuang malah menjadi kenangan yang tak terlupakan. Sebenarnya lakon pertama ini sepanjang disikapi positif, pasti hasilnya positif.
Lakon kedua, dari sisi keuntungan aku akan merasakan apa yang dirasakan oleh orang atau benda yang aku tuliskan dalam sebuah cerita. Aku menggambarkan laut dengan keindahan, atau batu bata berjejer menjadi sebuah rumah, akan bisa merasakan bahwa keindahan itu menakjubkan, dan kerja sama tim menjadikan sebuah rumah tempat berteduh.
Melihat orang yang meminta-minta, lantas aku menuliskan ceritanya bagaimana ia datang, mengetuk pintu, mengucap salam, hingga bermohon untuk diberi sesuatu, ini akan menjadi pelajaran bagiku, bahwa apa yang dikerjakan ada usaha di dalamnya. Tapi bila semua yang aku lihat dalam sisi negatif, maka bisa jadi aku tidak memberikan apa pun padanya. Meski bukan hanya satu contoh saja yang bisa terjadi setelah melakoni ketiga lakon tadi.
Sangat menarik bukan, lakon satu dan lakon dua. Lakon dua juga akan meningkatkan silaturrahmi dan empatiku kepada apa saja yang diciptakan di dunia ini. Sementara lakon tiga akan melatihku pada pemikiran yang lebih luas, penguasaan kosa kata yang semakin banyak. Hingga teori-teori atau kisah-kisah lama yang diujarkan oleh orang-orang dahulu bisa kuresapi melalui sebuah kisah yang tertulis.
Kerugiannya bila aku hanya berkutat pada salah satu lakon saja, maka akan ada ketimpangan. Lakon satu saja, barang tentu aku bisa bercakap-cakap saja, sebab tak punya pengalaman dalam menuliskannya.
Lakon dua saja, aku akan menggosipkan itu pada orang lain, Â lakon tiga saja, pemikiran itu hanya terbenam pada otak saja, meskipun yang aku baca ribuan buku.
Menulis adalah kelanjutannya. Berdasarkan pengalaman menulis seribu kata dalam waktu kurang lebih 15 menit, dapat disimpulkan bahwa jangan menulis masa depan, tapi menulis itu untuk masa depan. Tulislah apa yang sudah dilakoni, dari melihat, mendengar, merasakan, dan membaca.
Tuangkan lagi dalam sebuah tulisan bumbui dengan bumbu yang pas. Jangan berkhayal dalam menulis sebuah cerita bahwa ke depan teori harus seperti ini. Terapkan dan tuangkan saja dulu. Istilahku, apa yang ada di pikiran jangan keluarkan dari mulut, tapi keluarkan dari jari tangan. Ketikkan, tuliskan, sebanyak-banyak yang aku bisa.
Mulai sekarang, jangan biarkan angan-anganku sekedar angan-angan. Itu masa depan, biar Allah yang tentukan. Tugas sekarang menuliskan apa yang sudah dilakoni, bumbui, masak dengan penuh kebahagiaan dan kesenangan. Ia akan tersaji dengan penuh kebaikan. Insya Allah menjadi amal jariah --amal kebaikan.
Jangan pula bercerita mengajak orang tentang zina, narkoba, dan buruk-buruk lainnya. Hal ini dalam rangka untuk fokus pada cerita kebaikan saja. Ingat, fokus pada cerita kebaikan saja.
Ingat, apa pun yang aku tulis hari ini, ini akan menjadi sejarah, apakah ia baik atau buruk. Begitu pun bila aku menulis dalam status di media sosial fesbuk misalnya. Tuliskan yang baik, bagikan yang baik. Tak perlu berujar kebencian, umpatan, makian.
Tugasku adalah memulai terlebih dahulu. Biarkan saja orang mau berkata-kata apa, tapi apa yang dikata-katakan orang, jadikan ia sebuah kebaikan, tuliskan dalam sebuah kebaikan, informasikan ia dalam tulisan kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H