Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pagi ke Pagi

10 Januari 2022   15:47 Diperbarui: 10 Januari 2022   16:03 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi

Lama sudah puisi tak menemani. Entah ke mana ia bersembunyi. Atau mungkin aku yang sudah tak peduli. Pada apa pun tentang cerita masa lalu dan masa depan yang harus dijadikan catatan ingatan. Agar membekas selalu dalam hari-hari panjang. Ah, puisi itu telah lari, pergi.

Kadang setiap catatan hanya buram pada kertas yang usang. Ia tak lagi indah untuk dibaca ulang. Betapa aku pun tak pasti untuk dapat memastikan ke mana arah catatan ini. Apakah hanya luka-luka dan duka-duka, atau perayaan terhadap kebaikan dan kenangan yang indah untuk ditinggalkan meski dikenang.

Pagi

Catatan puisiku telah raib entah ke mana. Atau mungkin aku yang alfa? Melupakan segala gerah tanpa rekaman kenangan. Agar kelak tak ada waktu untuk mengenang. Sementara, catatan-catatan lama itu telah lama kubiarkan bergelombang, tak pernah kubuka dan kuhidupkan. Tak pernah lagi setiap catatan apa pun itu menjadi aroma kerinduan.

Pagi.

Mentari masih belum menampakkan diri. Aroma pagi segar menelisik pada kulit yang menjelang keriput ini. Entah apa tujuan yang mesti kudapatkan, aku tetap sepi, teman.

Sesekali aku rindu pula pada kenangan masa lalu yang tak pernah kucatatkan. Saat hati penuh teguh menaklukkan diri. Saat masa apa pun yang kubuat tak ada beban di kepala. Iman semakin terpatri di dada. Sekuat mungkin berpuasa, agar memuai cerita indah yang tak berkesudahan pada sang pencipta. Aku rindu. Rindu sekali.

Pagi

Masih kutemukan diri berbalut kesombongan. Amarah tak henti menjadi teman. Jijik melihat itu ini, tapi hanya sekedar kata-kata amarah muncrat tak menentu. Efeknya kembali padaku. Orang-orang pun merasa aku entah siapa. Pejabat bukan, ahli agama tidak, rekam jejak penuh dengan buram dan kerancuan. Aku rindu, pada tapak lalu. Merangkai gerak menuju tuhanku. Hingga berbaring dalam doa, bangun dengan doa. 

Pagi

Aku harus kuat. Begitulah. Sering kali kuulang agar aku tetap kuat. Kuat iman, kuat menahan amarah, kuat agar tak angkuh dan sombong. Tetap saja kata mereka aku pemarah, sombong, angkuh. Padahal aku berusaha berbuat sesuai dengan kaidah kebenaran yang digariskan para pendahulu agama. Yang benar pasti benar, yang salah ya salah. Tapi faktanya, bersinggungan dengan kebiasaan. Sudah biasa kami begitu, sudah biasa kami begitu, tak penting itu kaidah-kaidah terdahulu. Itu bukan kaidah terdahulu, tetap abadi hingga kini.

Pagi

Aku malang. Meringis pada ketidakpastian. Usia semakin tua. Aneka gerak tubuh terhambat dengan penyakit yang seketika datang tak karuan. Entah sampai kapan aku mampu bertahan. Menghindar atau tersingkir dari kenyataan. Berputar-putar selalu beban di kepala.

Pagi

Sepagi ini, aku merepet tak menentu. Bahkan pada catatan pun begitu. Sudah berkomitmen agar tak ada lagi umpat dan caci dari mulut dan hati. Tetap saja, ia berkeliaran muncrat berkarat. Menikam hati. Hingga menjadi kebencian yang dalam. Aku sadar. Entah mengapa menjadi keranjingan.

Pagi

Aku lelah.

Tapi tak boleh terhenti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun