Mohon tunggu...
Azka NaaziraWardhana
Azka NaaziraWardhana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar Sekolah

Hobi: menulis dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

El Coco

5 September 2023   18:54 Diperbarui: 5 September 2023   19:05 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Seorang ibu berlari ke arah rumahnya. Tidak menghiraukan seraknya suara orang sekitar memanggil dan meminta agar sang ibu tidak berlari terlalu kencang. Sudah terlalu lama anaknya pergi bermain bola dengan teman-temannya. Sudah terlalu larut, terlalu bahaya. Tidak cukup waktu jika jalan dengan santai. Tidak cukup waktu sebelum itu datang dan membahayakan anaknya.

Namun sayang, sang ibu telat. El Coco telah membunuh korban ke-1o nya. 

Belum lama ini beredar tentang legenda El Coco yang menculik dan meminum darah anak kecil yang berkeliaran di malam hari. Orang-orang desa tidak memperdulikannya. Ada banyak orang yang terjaga di malam hari, mereka bisa membantu mengawasi anak mereka. Betapa syok mereka ketika El Coco benar-benar datang dan membunuh korban pertamanya. 'Gracias' tertulis di sebelah jasad sang korban dengan darah anak itu sendiri. Masih beruntung El Coco mempunyai sopan santun dan menulis terima kasih. Meski tangisan pilu terdengar setiap malam tanpa henti sebagai ganti.

Iigo Avitia melihat kejadian itu dengan ekspresi biasa-biasa saja. Seperti dia tidak peduli desanya kehilangan penduduk setiap malam. Seperti semua yang terjadi adalah hal sepele.

"Iigo, kamu tidak takut?" Tanya ibunya yang menggandeng tangan Iigo dengan erat. 

Kenapa juga aku perlu takut. Bocah itu pasti meninggal karena ketabrak mobil. Lihat saja dia, meninggal di tengah jalan." Jawab Iigo dengan simpel.

"Bukankah anak itu tetangga kita? Kenapa kamu tidak khawatir sedikit pun?"

"Buat apa aku khawatir, bu? Lagipula semua manusia juga akan mati pada akhirnya. Ibu tidak perlu khawatir aku ditangkap oleh "El Coco".  Aku kan sudah besar." 15 tahun Iigo mulai menegakkan postur tubuhnya agar terlihat lebih tinggi dan dewasa.

Sang ibu menghela nafas. Mungkin anaknya seperti ini karena dibesarkan tanpa ayah. Sebagai anak laki-laki semata wayang sang ibu, sudah pasti semua tanggung jawab seorang ayah diserahkan padanya. Dewasa awal dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin sudah ia kuasai sejak SD. Mana mungkin dia takut cerita anak-anak seperti "El Coco". 

Namun yang ditakutkan ibunya adalah penyakit turun temurun yang diderita ayahnya. Penyakit tersebut adalah alasan wafatnya sang ayah. Tentu saja sang ibu khawatir anaknya akan menjalani nasib yang sama. Apalagi dengan datangnya El Coco di desa mereka, masalah sang ibu bertambah lagi. cukup sudah khawatirnya dengan penyakit sang anak. Tidak perlu ditambah dengan kemungkinan El Coco tertarik untuk menghisap darah Iigo.

"Ibu tau kau sudah dewasa, Iigo. Dan ada kemungkinan El Coco tidak tertarik remaja dewasa sepertimu. Tapi penyakitmu itu tidak ada obatnya. Ibu tidak mau kamu mati muda. Ibu ingin kamu mengejar cita-citamu sampai ke langit. Vuela alto, Iigo" Sang ibu menepuk punggung Iigo.

"Muy bien mam."

~~~

"Iigo! Iigo!" Ibu Iigo menggedor pintu kamar anaknya. "Abran la puerta, por favor!" Pintanya berkali-kali. Tapi tetap saja, tidak ada jawaban dari dalam kamar.

Kamar tersebut sudah ditutup oleh Iigo selama berjam-jam. Sang ibu membiarkannya, berpikir Iigo pasti sedang tidur nyenyak atau mengerjakan tugas dari sekolah. 2 jam berlalu menjadi 5 dan 5 menjadi 10. Terlalu lama sudah Iigo di dalam kamar. Terlalu mencurigakan. Sang ibu yang panik mengira Iigo pingsan di dalam kamar dan mulai menggedor pintu tersebut. Tetangga sudah mencoba membantu tapi tidak ada yang berhasil. Pintu itu telah dikunci rapat-rapat oleh Iigo. Pasrah, sang ibu menangis tersedu-sedu, bersandar lemah di pintu kayu sang anak. Ketika suasana mulai sunyi, terdengar bisikan dari lubang kunci.

"Lo siento mam." Bisik Iigo dari dalam kamar. "Tapi aku memerlukan ini agar tetap hidup. Maafkan aku, anak-anak kecil yang tidak bersalah. Aku ingin tetap hidup. Aku ingin mewujudkan mimpi ibu. Lo siento mam. Te amo mucho."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun