Yang lain mengangguk, sementara Acep mengusap roman cengengnya, mencoba menghapus jejak-jejak air mata di pipi sembapnya—jujur saja, ia jadi terlihat seperti homo penjara yang habis dipukuli sipir sampai babak belur.
Lanjut Si Burug memulai kisahnya. “Astaga Pak tua..., hidupmu itu sepertinya terlalu di dramatisi. Aku hidup di kampung, aku punya istri dan anak juga, tapi sudah lama kami bercerai. Kerjaku jadi buruh angkut, bosku itu sangat tamak, sampai-sampai aku dapat membayangkan bagaimana menderitanya leluhurku saat masa romusa. Aku kerja pagi pulang malam, kerja pagi pulang malam, begitu terus, itu pun dengan gaji yang hanya bisa buat beli satu nasi bungkus di kantin. Setelah bercerai dengan istriku, aku merantau ke kota ini, mencari uang untuk membiayai anak kami yang belum genap dua tahun itu. Rupa-rupanya kerja kerasku ini hanya menghasilkan keringat dan darah, tak menghasilkan uang sedikit pun, tak memperkaya diriku sama sekali. Suatu pagi, hilanglah harapanku untuk menafkahi anakku. Rasa kesumat memaksaku untuk memukuli si brengsek itu—ya, harusnya dari awal kubunuh saja dia—berakhirlah aku di tempat ini, tapi aku lebih beruntung dari dirimu pak tua, lusa kemarin aku mendapatkan izin banding. Dan kalau hukumanku sudah ditangguhkan, dan aku bisa bebas, kali ini pasti akan aku bunuh bos brengsek itu!”
Jeda panjang menggentayangi kantin. Mereka meneruskan makan, dan Gugul baru saja rampung menyantap sendok terakhir kuah kari ketika Si Burug menghabiskan ceritanya. Entah ia terlambat menyadarinya, atau karena terlalu masyuk mendengarkan kisah teman-temannya, tapi penjara jadi tampak sangat sesak dan ramai, bahkan kalau duduk di tempat luas pun masih akan ada yang menyenggol punggung atau sikumu. Sepertinya tahun ini penjara memang sedang jadi tempat liburan terpopuler setelah Pantai Kidul.
“Lalu, kau..., kenapa kau bisa masuk kesini?!” tanya Si Anak Demit penasaran tapi telah kehilangan seleranya untuk basa-basi.
“Aku?” Gugul memberi jeda lalu melanjutkan. “Aku membunuh pacarku. Dia aktivis fanatik, dan tak sengaja terkena peluru yang kutembakkan.”
Dari hari itu, rasa-rasanya Gugul bakal jadi sasaran kebencian orang-orang. Ya..., baguslah, katanya. Setidaknya mungkin sekarang gambaran tentang penjara yang ada di film-film memang benar adanya. Sebentar Gugul merindukan rumah, ia rindu sofa mewahnya yang selembut beludru, makanan enak dari ibunya, atau aktivitas panjat tebing hari minggunya, atau sekedar merindukan sanca kembang peliharaannya yang, mungkin sekarang mati karena tak terawat. Rencananya semakin jelas di depan mata, mungkin sekarang waktu yang paling tepat untuk merealisasikan rencana pelariannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H