Si Burug kegirangan seperti anak kecil yang mendapati majalah porno di akhir tahun, dan Acep yang picik itu bicaranya jadi tambah gagap; Si tua Mardepitu tetap mempertahankan lagak bijaknya.
“Pasti mereka menangkapmu karena aksi demo kemarin?!” tanya si Tua Mardepitu
“Tidak salah. Aku yang mengomandoi aksi tersebut!”
“Katanya puluhan mahasiswa turun ke jalanan, banyak juga yang di tangkap karena itu!” timpal Si Burug.
“Sebenarnya kejadiannya lebih mengerikan. Tentu kalian sudah dengar dimana-mana kan? Tak ada asap bila tak ada api, bukan tanpa sebab kami Mahasiswa turun ke jalanan, sebab Militer pun turun ke jalanan pula. Pokoknya keadaannya sangat kacau, bahkan kabarnya malam itu ada seorang manajer buruh pabrik yang ditemukan tewas di rumahnya, katanya ada dua orang yang menembaknya lalu merampoknya dengan keji!” oceh Si Anak Demit—kelihatannya membuat Si Acep picik tambah mengaguminya.
“Iya..., A-aku dengar pem-pembunuhan sadis itu, katanya pelakunya belum diketahui!” sergah Acep, tampak antusias, lebih-lebih seperti memberikan informasi sekenanya agar bisa bergabung dengan percakapan mereka.
“Pagi ini pun, mahasiswi yang ikut melakukan aksi bersamaku kena peluru nyasar. Dia salah satu korban dari banyak korban lainnya. Yang sangat disayangkan, dia itu intelektual, dia punya masa depan, tapi harus mati hanya karena salah tembak!”
Suasana mendadak hening, rasa-rasanya seperti di pemakaman atau di tengah-tengah upacara hari Senin ketika mengheningkan cipta.
“Terus kenapa kalian bisa masuk sini?” kata Si Anak Demit mengganti topik.
“Kalau..., kalau aku karena dituduh... Ya—ya, aku yakin itu tuduhan, aku dituduh mencuri pakaian dalam wanita dan melecehkannya..., sial, padahal aku tidak seperti itu..., sial, mamah keluarkan aku dari sini, sial!” rengek Acep. Ia tiba-tiba menangis dan gagapnya jadi makin parah.
Si tua Mardepitu merangkul pundaknya, ia merasa iba dengan kerapuhan hati pemuda lugu ini. “Nasibmu tak jauh beda denganku anak muda. Dulu aku seorang penulis dan dalang balai kota. Kerjaku di belakang layar, tentunya menulis dan menulis banyak buku—tapi sekarang mereka menarik buku-bukuku dari edaran. Malam itu, petugas datang, menyeretku di depan anak-istriku yang hidupnya bergantung kepadaku. Malam itu pula aku dijebloskan kesini. Setiap malam aku memikirkan keluargaku, mereka tak pernah mengunjungiku, tak ada kabar juga dari mereka. Delapan tahun aku di tempat ini, berkutat pada kebosanan hidup. Aku kehilangan pekerjaanku sebagai penulis, aku kehilangan keluargaku, dan itu masih belum cukup sampai aku kehilangan hidupku. Aku mengajukan banding, tapi selalu ditolak, aku tak berdaya!”