Tibalah hari di mana akhirnya ia dijebloskan ke jeruji besi. Seorang pemuda militan bernama Gugul, anak seorang penulis kondang di kotanya. Ini hari pertamanya di penjara. Tidak seperti yang ia bayangkan, penjara tampak lebih nyaman dari yang dikiranya, tidak ada penjahat kelamin yang bakal menyodominya saat malam hari, tak ada perkelahian, juga tak ada aksi melarikan diri seperti di film Shawshank Redemption—ya..., mungkin suatu hari nanti, ketika dirinya sudah jenuh di sini, Gugul akan berusaha sedikit demi sedikit mencukil tembok di sel penjaranya dengan sendok untuk kabur. Hari pertama di penjara itu terasa seperti darmawisata anak SMA yang membosankan, Gugul berkeliling di penjara, ia melihat kantin yang berbau amis, kamar mandi yang sangat jorok, dan taman terbuka yang dibentengi tembok beton.
Jam makan siang pertama. Gugul disambut tiga napi sebayanya dan satu napi yang sudah hampir jompo. Ketiga napi seumurannya itu terlihat seperti tiga koboi di film The Good, The bad, and The Ugly. Mereka mengambil makanan yang kelihatannya sangat jorok, namun rasanya tak seburuk itu—lagi-lagi film salah menggambarkan sebuah penjara yang biasanya digambarkan dengan suram, atau mungkin Gugul sedang beruntung saja karena dapat penjara yang nyaman.
“Hei... namaku... Acep. Makanan ini, enak ya ternyata... tak seburuk itu ya, ternyata!” ujarnya mengawali percakapan. Cara bicaranya rada aneh.
“Wei kak, kenalan saja kayak anak SMP, kau ini mau sekolah atau ke penjara, harusnya kenalan itu seperti ini, aku si Burug—begitu, jangan lembek kalau ngomong, Laki-laki itu harus jantan kak!” sahut si Burug sambil tergelak.
Sepertinya sekarang giliran Gugul memperkenalkan diri, ia tak tahu harus bicara apa jadi ia hanya memperkenalkan nama lalu menyantap makanannya. Perkenalan berlanjut ke si tua Mardepitu, katanya ia yang terlama singgah di penjara ini, konon mata kirinya yang buta itu karena kejahatan keji yang pernah ia perbuat.
“Sudah. Sudah... berarti giliranku perkenalan ya sekarang? Orang-orang kenal aku, di setiap sudut kota ini semuanya kenal dengan diriku—mereka memanggilku, Anak Demit!”
Gugul sangat asing dengan nama kekanak-kanakan orang ini, tapi yang lain seolah tahu seberapa terkenalnya Si Anak Demit itu. Si Acep yang picik itu bahkan sampai berkata: “Akhirnya ia ditangkap, ia ditangkap!” sehebat itukah pemuda nyentrik ini, sampai-sampai si tua Mardepitu terus mengangguk-angguk seraya mengelus janggut masainya yang mulai rontok karena tekanan batin.
“Oh, pasti kau di tangkap karena tawuran ya?!” sergah Si Burug bersemangat.
“Tidak-tidak. Tebak lagi!”
“Pasti—karena memukul polisi, atau..., membunuh musuh bebuyutanmu, kan?” ujar Acep. Coba menghilangkan cara bicaranya yang aneh.
“Salah. Salah. Aduh... Masa tidak ada yang bisa menebak sih?” Si Anak Demit menghela nafas yang berat. “Aku..., aku tahanan politik di sini.”