Mohon tunggu...
AZIZAH NURRIZKASARI
AZIZAH NURRIZKASARI Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Pertahanan

Fakultas Manajemen Pertahanan, Program Studi Ekonomi Pertahanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tumpang Tindih Batas Laut antara Indonesia dengan China

27 April 2024   23:40 Diperbarui: 27 April 2024   23:43 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

TUMPANG TINDIH BATAS LAUT ANTARA INDONESIA DENGAN CHINA

 

Konflik antara Indonesia dan China terkait wilayah perairan Laut Natuna Utara merupakan isu yang kompleks dan penting dalam konteks kepentingan nasional Indonesia. Dalam UUD 1945, Indonesia memiliki komitmen untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, termasuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah perairan NKRI. Laut Natuna Utara memiliki potensi sumber daya laut yang kaya, seperti berbagai jenis ikan, biota laut, serta kandungan minyak dan gas alam yang signifikan. Hal ini menjadikan wilayah tersebut strategis dan menjadi sumber ketegangan antara Indonesia dan China.

Perbedaan dasar klaim kepemilikan menjadi pemicu utama konflik antara kedua negara. Indonesia menggunakan dasar klaim kepemilikan berdasarkan fakta kesejarahan atas kedaulatan wilayah, sementara China menggunakan dasar klaim historis. Sengketa Laut Natuna Utara melibatkan tidak hanya Indonesia dan China, tetapi juga negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Malaysia. China terus menunjukkan agresi dengan mengirim nelayan yang diawasi oleh Chinese Coast Guard ke perairan Laut Natuna Utara, mengganggu keamanan di wilayah tersebut.

          Permasalahan yang menjadi point penting adalah tumpang tindih batas laut antara Indonesia dengan China yang melibatkan beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia. China mengklaim Laut China Selatan merupakan masih bagian dari mereka walaupun sudah ditentukan oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Namun China masih menjalankan operasi militer disekitar daerah perbatasan tersebut. Klaim sepihak Tiongkok atas perairan Natuna masih terus berlanjut hingga membawa Indonesia dan Tiongkok pada situasi “bersitegang” pada tahun 2013 dan mencapai puncaknya tahun 2016. Tercatat bahwa sejumlah kapal nelayan Tiongkok memasuki wilayah ZEE Indonesia pada Maret, Mei, dan Juni 2016 dan melakukan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU). Pada tahun 2019 dan 2020, peristiwa tersebut kembali terjadi; kali ini, bukan hanya kapal nelayan yang terlibat, tetapi juga coast guard Tiongkok yang melakukan pelanggaran serupa. Terjadinya sengketa Indonesia-China atas laut Natuna utara karena perbedaan dasar klaim kepemilikan. Sementara Cina bergantung pada klaim historis, Indonesia bergantung pada klaim kepemilikan berdasarkan fakta kesejarahan atas kedaulatan wilayah.

 

Merujuk pada Putusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 47 Tahun 2016, Laut Natuna kaya akan sumber daya laut seperti berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok East Natuna memiliki kandungan potensi minyak sebesar 36 juta barel, serta volume gas alam di tempat sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf) dan cadangan gas alam sebesar 46 tcf. Kemudian laut natuna juga tak luput sebagai jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Itu artinya kawasan laut natuna adalah kawasan yang strategis untuk perdagangan dan memiliki kekayaan yang luar biasa.

 

Dalam menangani konflik ini, pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah. Salah satunya adalah merubah nama dari Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara di sekitar Pulau Natuna. Menurut (Andika, 2017) terdapat dua alasan bagi pemerintah Indonesia menamakan Laut Natuna Utara yaitu untuk mencegah kebingungan di antara pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi sumber daya yang ada di perairan tersebut dan memberi petunjuk yang jelas kepada tim penegakan hukum di Angkatan Laut Indonesia sebagai upaya untuk menegaskan kedaulatan Indonesia atas wilayah tersebut. Selain itu, Indonesia juga mengirim nota protes diplomatik ke pemerintah China. Indonesia tercatat beberapa kali telah mengirimkan nota protes kepada Tiongkok yaitu pada tahun 2016, 2019, dan 2020 akibat adanya pelanggaran kegiatan IUU fishing oleh kapal-kapal nelayan dan pelanggaran kedaulatan oleh coast guard Tiongkok di perairan Natuna. Mengembangkan marine protected area, menerapkan praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya alam, dan meningkatkan kerjasama dengan negara tetangga dalam bidang kelautan.

 

Tidak hanya itu Indonesia melakukan berbagai upaya pengamanan dengan menginstruksikan TNI, AL, TNI AU dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI untuk menjaga kedaulatan dan keamanan territorial Indonesia. Ketiga institusi tersebut ditugaskan secara intensif di wilayah Natuna. Mereka juga melakukan Latihan gabungan Bersama dengan negara-negara Indo-Pasifik seperti Komodo Exercise dan Super Garuda Shield. Indonesia juga meningkatkan kerjasama dengan negara tetangga dibidang penelitian dan pengembangan kelautan, patroli maritim.

 

Indonesia juga terus berupaya melakukan diplomasi perdamaian yang terkait dengan isu sengketa LCS. Upaya diplomasi perdamaian tersebut kerap disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melalui pernyataan publik dalam sejumlah forum internasional seperti Pertemuan ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) pada September 2020, KTT ASEAN-China pada November 2020, dan pertemuan bilateral, seperti pertemuan Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Malaysia pada Februari 2021. Dalam sejumlah kesempatan tersebut, Indonesia selalu menegaskan bahwa stabilitas dan keamanan di LCS akan tercipta jika semua pihak menghormati hukum internasional, yaitu UNCLOS 1982, dan meminta setiap pihak diri untuk menghindari melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan tingkat konflik. Selain melalui upaya diplomasi, Indonesia juga berusaha memperkuat posisinya dengan mengembangkan Kepulauan Natuna dari sisi pembangunan ekonomi dan manusia. Sebagai contoh, Presiden Joko Widodo telah membagikan sertifikat lahan kepada 102 warga Natuna sebagai bukti hak hukum atas lahan tanah yang telah menjadi milik masyarakat Natuna. Kemudian sebanyak 470 nelayan telah bersedia untuk berlayar dan meramaikan perairan Natuna (Sulistyani, 2021)

 

Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk terus memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam mempertahankan Laut Natuna Utara. Upaya diplomasi, penegakan hukum, dan kerjasama regional menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik ini secara damai dan menjaga stabilitas di kawasan. Dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada secara berkelanjutan, Indonesia dapat mengoptimalkan keuntungan ekonomi dari wilayah tersebut sambil tetap menjaga kedaulatan dan keamanan nasional. Dengan demikian, konflik Indonesia-China di Laut Natuna Utara tidak hanya menjadi ujian bagi keberanian dan ketegasan Indonesia dalam mempertahankan wilayahnya, tetapi juga menjadi peluang untuk memperkuat kerjasama regional dan memastikan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan demi kesejahteraan bangsa dan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun