Mohon tunggu...
Azizah Nur Azhari
Azizah Nur Azhari Mohon Tunggu... Mahasiswa - as a student | communication `20

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga | 20107030027

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Culture Shock" Gegar Budaya yang Kerap Dialami Mahasiswa

26 Juni 2021   11:06 Diperbarui: 28 Juni 2021   12:38 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengejar "kota impian" untuk melanjutkan pendidikan tentunya menjadi alasan utama bagi sebagian mahasiswa rantau. Memilih untuk meninggalkan daerah asal merupakan suatu hal yang cukup sulit bagi sebagian orang, apalagi berada di lingkungan baru yang jauh dari rumah.

Dengan lingkungan baru, tidak semua orang akan terbiasa untuk hidup sendiri dan berpisah dengan keluarga untuk sementara waktu. Wajar apabila seseorang mengalami kesulitan ketika harus beradaptasi dengan lingkungan baru, apalagi jika lingkungan tersebut sudah berbeda pulau.

Tentu saja menjadi mahasiswa rantau bukanlah hal mudah untuk dijalani, meraka dituntut untuk beradaptasi lagi mulai dari nol demi bisa bertahan hidup di lingkungan baru. Mahasiswa rantau harus memulai semuanya dari awal lagi, untuk belajar kebudayaan baru, kebiasaan baru, lingkungan tempat tinggal baru dan juga temen-teman yang baru.

Tidak heran, jika sebagian mahasiswa akan mengalami "culture shock" ketika beradaptasi dengan lingkungan yang serba baru tersebut.

Apa itu culture shock ?

Culture shock atau disebut juga sebagai "gegar budaya" dalam bahasa Indonesia, adalah istilah psikologis untuk menggambarkaan keadaan dan perasaan seseorang ketika menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya yang berbeda.

Gegar budaya atau culture shock ini akan menimbulkan perasaan bingung, cemas, gelisah, dan risau ketika bertandang atau bermukim di lingkungan masyarakat yang baru dan berbeda dengan lingkungan biasannya.

Istilah culture shock ini pertama kali dikenalkan oleh Kelvero Obreg pada tahun 1955. Obreg mendefinisikan culture shock sebagai kecemasan yang timbul akibat hilangnya sign dan simbol hubungan sosial yang familiar.    

Dikutip dari laman Universitas Exeter, culture shock dapat dialami oleh siapa saja. Keterkejutan ini terjadi apabila seseorang berada dalam lingkungan baru, bertemu dengan banyak orang baru, hingga mempelajari berbagai cara atau adat di lingkungan baru. Disamping itu, culture shock juga bisa muncul ketika seseorang berpisah dari orang-orang yang dianggap seperti keluarga, teman, saudara, dan sebagainya.

Biasanya, seseorang yang mengalami culture shock ini karena mereka belum siap menerima perubahan-perubahan pada lingkungan barunya, sehingga akan menimbulkan beberapa guncangan atau shock pada kehidupan sosial maupun budayanya. Mereka akan merasakan kesepian, ketidaknyamanan bahkan sampai memicu depresi akibat lingkungan barunya.

Culture shock masih sering kali dianggap sebagai hal sepele yang dialami oleh sebagian mahasiswa. Namun, jika hal tersebut tetap dianggap remeh bisa berdampak buruk pada kesehatan mental mahasiswa.

Hal tersebut bisa terjadi karena ketika seseorang sedang menghadapi lingkungan dan kondisi yang tidak biasa, beberapa emosi juga akan muncul saat seseorang mencoba untuk beradaptasi dengan budaya yang mereka anggap asing. Mulai dari perasaan gembira sampai perasaan buruk tak terduga yang dapat memicu rasa frustasi.

Tentunya, culture shock ini tidak hanya muncul begitu saja, terdapat beberapa faktor yang dapat memicu timbulnya keterkejutan ini, seperti bahasa, iklim, aturan bermasyarakat, perilaku sosial, permasalahan dalam hubungan dan perbedaan nilai sosial.

Dilansir dari Now Health International, culture shock atau gegar budaya ini terbagi menjadi lima tahapan.

1. Honeymoon Stage 

Pada tahapan ini, seseorang akan merasa sangat positif, mereka akan mencari tahu dan mengulik beberapa pengalaman baru. Mulai dari panorama, kemajuan teknologi, hingga keunikan tradisi dari daerah baru tersebut. Bahkan mereka akan merasa bahwa budaya di daerah tersebut sangat ideal untuknya.

Tahapan ini terjadi pada minggu sampai bulan pertama. Namun, tahapan ini akan berakhir dan beralih pada tahapan selanjutnya.

2. Negotiation Stage

Pada tahap ini, seseorang akan mulai mengalami frustasi. Hal ini dikarenakan peralihan dari honeymoon stage yang berisi penuh kebahagiaan berpindah pada tahapan negotiation stage, dimana beberapa kesulitan mulai menyerang secara bertubi-tubi. Misalnya pada kendala dalam mencari jalan pulang dan kebingungan memilih menu makanan di restoran menjadi hal yang paling sering dialami.

Ketika berada pada tahap ini, kerap kali membuat seseorang merasa putus asa dan ingin kembali ke daerah asalnya. Tahap ini juga biasa dibarengi dengan kondisi kesehatan yang mulai menurun.

3. Adjustment Stage  

Tahap ini biasanya dialami setelah kurang lebih setengah tahun, dimana seseorang mulai memasuki penyesuaian terhadap lingkungan hidup barunya. Pada tahap ini, seseorang akan mencoba berbaur kembali dengan masyarakat, mereka akan mulai mempelajari hal-hal baru yang berkaitan dengan budaya baru tersebut.

Hal ini bisa dilakukan dengan membangun relasi dengan warga setempat. Selain itu juga seseorang akan lebih mampu menangani suatu masaalah jauh lebih baik lagi dari sebelumnya.

4. Adaptation Stage  

Tahap adaptasi ini menjadi tahapan terkahir yang akan seseorang alami ketika masih berada di lingkungan baru. Pada tahap ini, seseorang telah berada pada perasaan nyaman dengan segala seuatu yang terjadi di daerah baru tersebut.  Hal ini dikarenakan seseorang telah berhasil dalam pembiasaan terhadap keadaan baru dengan membuat pola hidup yang sesuai kepribadiannya.

5. Re-entry Shock 

Tahapan ini terjadi ketika seseorang yang merantau dalam jangka waktu panjang dan sudah terbiasa dengan segala macam situasi dan kondisinya. Ketika seseorang tersebut pulang ke daerah asal, ia akan menyadari bahwa keadaan sudah berbeda dan tidak lama lagi saat dirinya pergi merantau. Ia akan merasa keluarga, teman bahkan kerabatnya sudah berkembang tanpa dirinya disana.

Hal ini akan menimbulkan perasaan sedih, karena ia akan kembali lagi beradaptasi dengan segala kebaruan di lingkungan lamanya.

Untuk mengetahui bahwa seseorang mengalami culture shock dapat dilihat dari berbagai tanda-tanda berikut :

  • Menarik diri dari lingkungan baru.
  • Adanya perasaan bosan,
  • Merasa terisolasi dan tidak berdaya,
  • Mudah terganggu dan frustasi,
  • Terlalu sering mengkitik budaya atau tradisi setempat,
  • Rasa nyeri pada tubuh,
  • Mudah Lelah hingga lebih sering memilih tidur,
  • Homesick atau rindu dan ingin kembali ke rumah,
  • Depresi.

Perlu diingat, bahwa gegar budaya ini bukanlah suatu hal wajar dan tidak sebaiknya dijadikan beban pikiran. Meskipun culture shock sulit untik dihadapi, namun bukan berarti hal ini tidak dapat diatasi. Beberapa cara berikut dapat dilakukan jika seseorang mengalami cultures shock :

  • Mempelajari daerah tujuan

Mencari tahu informasi daerah tujuan melalui internet, buku panduan, laporan berita, atau pun novel. Mengulik lebih dalam mengenai seluk beluk daerah yang akan dituju, hal ini tidak hanya sebatas pengetahuan umum saja, sesekali cobalah mencari fakta unik dan menarik terkait daerah yang ingin dituju tersebut.

  • Berpikiran terbuka 

Menerapkan pola pikir yang terbuka bisa menjadi cara paling efektif dalam menghadapi culture shock ini. Dengan menjadi pribadi yang adaptif tanpa harus memaksakan diri terlalu keras bahkan sampai melampaui batas, dapat dipastikan keterkejutan budaya ini bisa dilalui begitu saja.

  • Mencari kegiatan yang sehat

Terkadang, memberi waktu untuk diri sendiri itu sangat diperlukan. Bisa dilakukan dengan menonton televisi, memasak makanan favorit, atau menelfon keluarga dan teman-teman dari daerah asal.

  • Memiliki teman

Doronglah dirimu untuk mencoba membuat teman baru, karena memiliki teman akan membantu dalam melawan culture shock yang dialami. Memilih teman yang bukan berasal dari daerah tersebut akan membuat seseorang yang sedang mengalami culture shock tidak merasa sendirian bahwa hanya dirinya lah yang sedang mengalami keterkerjutan budaya tersebut.

Namun, bukan berarti hal ini dijadikan batasan untuk berteman dengan orang-orang yang berasal dari daerah tersebut. Karena mereka juga dapat membantu dalam mempelajari dan memahami berbagai budaya baru di lingkungan itu.

  • Tidak membandingkan daerah 

Mencoba untuk menghindari kebiasaan dalam membanding-bandingkan segala sesuatu di daerah baru dengan daerah asal. Karena hal ini dapat mempersulit seseorang untuk terus bergerak maju. Semakin seseorang tersebut mengingat kampung halamannya, maka akan semakin berat pula seseorang tersebut untuk menjalani kehidupan di lingkungan barunya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun